BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Qawaid Ushuliyyah (kaidah ushuliyah) adalah kaidah yang berkaitan
dengan bahasa. Dan kaidah ushuliyah ini juga merupakan kaidah yang sangat
penting, karena kaidah ushuliyah merupakan media/ alat untuk menggali kandungan
makna dan hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga
dengan kaidah ushuliyah ini, merupakan modal utama dalam memproduk fiqih. Tanpa
kaidah ushuliyah, pengamalan hukum Islam cenderung belum semuanya
Karena pentingnya hal tersebut, sehinggga
merupakan suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa yang akan
meneruskan perjuangan pendahulu-pendahulu kita dalam membela dan menegakkan
islam untuk mempelajari hal ini. Karena banyak dari kita yang kurang mengerti
bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaid ushuliyah . Oleh
karena itu penting bagi seorang mujtahid maupun calon mujtahid untuk menggali
sebuah hukum dengan mempelajari kaidah ushuliyyah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
Pengertian Metodologi kajian fiqih dan kaidah ushuliyyah ?
2.
Apa
Metodologi pemikiran modern ?
3.
Apa
Metodologi pendidikan Islam ?
4.
Apa
Metodologi tekstual, kontekstual dan muqoronah madzhab ?
C.
Tujuan
1.
Untuk
Mendiskripsikan Metodologi kajian fiqih dan kaidah ushuliyyah
2.
Untuk
Mendiskripsikan Metodologi pemikiran modern
3.
Untuk
mendiskripsikan Metodologi pendidikan
Islam
4.
Untuk
Mengetahui Metodologi tekstual, kontekstual dan muqoronah madzhab
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Metodologi Kajian fiqih dan kaidah Ushuliyyah
1. Pengertian
Ilmu fiqih dan Ushul Fiqih
Di dalam
Al-Qur’an tidak kurang dari 19 ayat yang berkaitan dengan kata Fiqih dan
semuanya dalam bentuk kata kerja, seperti di dalam surat Al-Taubah ayat 122 :
وَمَا كَانَ
الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا
قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْن
Artinya:” Dan
tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang).
Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk
memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.
Di dalam Hadits
Nabi SAW. Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutka :
مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
Arinya : “
Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisi Nya niscaya
diberikan kepadanya pemahaman (yang mendalam) dalam
pengetahuan agama.”
Adapun
Fiqih menurut bahasa berarti pemahaman terhadap tujuan seseorang pembicara.
Sedangkan Fiqih menurut Istilah adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang
amaliyah (mengenai perbuatan, prilaku) dengan melalui dalil-dalil yan
terperinci. Jadi Fiqih adalah ilmu yang dihasilkan oleh pikiran serta
ijtihad(penelitian) dan memerlukan wawasan serta perenungan.
Di
bawah ini beberapa pendapat para ulama dalam mendefinisikan Fiqih, diantaranya
:
a)
Imam
Al-Jurjaani penganut madzhab hanafi, menurutnya Fiqih adalah ilmu yang menerangkan
segala hak dan kewajiaban .
b)
Imam
Al-Ghazali penganut madzhab Syafi’i menurutnya pengertian Fiqih adalah suatu
ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang tertentu bagi perbuatan para
mukallaf, seperti wajib, haram, mubah (kebolehan), sunnah, makruh, sah, fasid,
batal, qadla, ada’an dan yang sejenisnya. Menurutnya juga bahwa fiqih berarti
mengetahui dan memahami.
Intinya bahwa
fiqih adalah suatu system hukum yang sangat erat kaitannya dengan agama Islam.
Setelah
kita mengetahui pengertian fiqih, akan timbul pertanyaan dari mana datangnya
fiqih itu, apa sumber atau dalilnya, bagaimana cara mengistimbat hukum sehingga
menghasilkan hukum wajib, sunnat, haram, makruh, dan mubah ? Itu semua dibahas
di dalam Ilmu Ushul Fiqih. Disebut Ushul fiqih karena ilmu ini menjadi dasar
atau fondasi Ilmu Fiqih.
Di
bawah ini pengertian Ushul Fiqih dari beberapa pendapat para Ulama ,
diantaranya
a)
Al-Ghazali,
Ushul Fiqih Menurutnya adalah ilmu yang membahas tentang dalil-dalil hukum
syara’, dan tentang bentuk-bentuk penunjukan dalil tadi terhadap hukum.
b)
Al-Syakani
menurutnya Ushul Fiqih adalah ilmu untuk mengetahui kaidah-kaidah yang kaidah
tadi bias digunakan untuk mengeluarkan hukum syara’ yang berupa hukum furu’
(cabang) dari dalil-dalilnya yang terperinci.
c)
Ustadz
Abdul; Wahab Khalaf memberikan definisi Ushul Fiqih adalah Ilmu tentang
kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasannya yang merupakan cara untuk menemukan
hukum-hukum syara’ yang amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci.
d)
Menurut
Ustadz Al-Hudhari Bik Mendefinisikan Fiqih adalah Hukum-hukum syara’ dari
dalil-dalilnya.
e)
Adapun
menurut DR.Abu Zahrah memberikan pengertian tentang Ushul Fiqih adalah suatu
metoda yang memberikan batasan-batasan dan menjelaskan cara-cara yang lazim
ditempuh oleh seorang ahli hukum Islam (Faqih) di dalam mengeluarkan
hukum-hukum dari dalil-dalilnya, serta mengeluarkan hukum-hukum dari
dalil-dalilnya, serta mengurutkan sesuai dengan kekuatannya. Dalil- dalil
itu
Dari
definisi-definisi tersebut di atas , bisa diambil
pengertian umum, bahwa fiqih sebagai disiplin ilmu mempunyai
metode tertentu dan metodologi ilmu fiqih itu ialah Ushul Fiqih. Oleh karena
itu, apabila kita mempelajari fiqih tanpa mempelajari Ushul Fiqih,
tidak akan tahu bagaimana caranya mengeluarkan hokum dari dalil-dalilnya itu
dan bagaimana mengembalikan hukum fiqih kepada sumber asalnya.
2. Kaidah
Ushuliyyah
a)
Pengertian
Kaidah Ushuliyyah
Qa’idah Ushuliyyah merupakan gabungan dari
kata Qaidah dan ushuliyah, kaidah dalam bahasa Arab ditulis dengan qaidah, yang
artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Dan ada pula yang mengartikan dengan
peraturan. Sedangkan bentuk jamak dari qa’idah adalah qawa’id. Adapun ushuliyah
berasal dari kata al-ashl, yang artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai
landasan. Jadi, Qa’idah Ushuliyyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’,
yang bertitik tolak pada pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode
dalam penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai kaidah
Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah. (1) Sedangkan
menurut Prof. Dr. Muhammad Syabir (dalam Amin Darmah :2011) mendefinisikan
sebagai:” ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang dengannya bisa sampai
pada pengambilan kesimpulan hukum syar’iyyah al far’iyyah dari dalil-dalilnya
yang terperinci”.
2. Jenis- jenis Qawaid Ushulliyyah
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si menjelaskan bahwa
penerapan kaidah ushuliyah yang pertama adalah kaidah lughawiyah, yaitu kaidah
bahasa yang berhubungan dengan kalimat-kalimat yang tersirat dalam Al-Qur’an
maupun As-Sunnah. Adapun kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
a)
Amr
dan Nahi
·
Pengertian
Amr
Menurut jumhur ulama ushul, definisi amr adalah lafadz
yang menunjukkan tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjaan suatu
pekerjaan. Amar menurut bahasa berarti perintah. Sedangkan menurut istilah
adalah, من الأعلى إلى الأدنى" الأمر طلب الفعل”amr
adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yng
lebih rendah tingkatannya.” atau dapat didefinisikan, اللفظ
الدال على طلب الفعل على جهة الاستعلاء Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan
sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih
rendah kedudukannya.
·
Kaidah
dalam ’Amr.
Apabila dalam nash syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah, maka ada
beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.
·
Kaidah
pertama,
الأصل فى الأمر للوجوب, meskipun suatu
perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian, namun pada dasarnya suatu
perintah menunjukkan hukum wajib dilaksanakan kecuali bila ada indikasi atau
dalil yang memalingkannya.
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib
adalah QS. An-Nisa (4) : 77
”Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: Tahanlah
tanganmu (dari berperang), Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat!…”
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan sholat lima waktu dan
menunaikan zakat.
b)
Nahi
·
Pengertian
Nahi
Mayoritas ulama Ushul Fiqh mendefinisikan nahi sebagai:
لاستعلاء بالسيغة الدال عليطلب الكف
عن الفعل على الجهة
Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang
menunjukkan atas hal itu.
Jika lafal khusus yang terdapat dalam nash syara’ berbentuk nahi
atau bentuk berita yang nermakna larangan, maka berarti haram. Yaitu menuntut
untuk tidak melakukan yang dilarang secara tetap dan pasti. Menurut ulama
ushul, definisi nahi adalah kebalikan amr, yakni lafad yang menunjukkan
tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang mesti di kerjakan) dari
atasan kepada bawahan. Namun, para ulama ushul sepakat bahwa nahyi itu seperti
juga amr dapat digunakan dalam berbagai arti.
·
Kaidah
yang berhubungan dengan Nahi
Kaidah, الأصل فى النهى للتحريم, pada dasarnya suatu
larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada
indikasi yang menunjukkan hukum lain.
Contohnya ayat 151 surat al-An’am. “dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar“Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain
haram, dalam Surat Al-Jum’ah (62) : 9. “Hai orang-orang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah
dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
Mengetahui.
c)
Aam
dan Khas
·
Pengertian
Aam
‘Am menurut bahasa artinya merata, yang
umum; dan menurut istilah adalah " Lafadz yang memiliki pengertian umum,
terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadz itu. Dengan pengertian
lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu
yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Menurut istilah ‘am yaitu suatu lafadz
yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan
pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja.Seperti lafadz “arrijal”
maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.
Disamping
pengertian ‘am diatas ada beberapa pengertian ‘am menurut ulama’ lainnya antara
lain:
o
Hanafiah
yaitu “Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna”.
o
Al-Ghazali
yaitu “Suatu lafazh yang dari suatu segi menunjukkan dua makna atau lebih”
o
Al-Bazdawi
yaitu “Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dalam satu
kata”
o
Menurut
Uddah ( dari kalangan ulama' Hanbali )" suatu lafadz yang mengumumi dua
hal atau lebih".
Kaidah yang
menunjukkan pada umum yang melengkapi dan melingkupi semua yang khusus,
misalnya kaidah :
العموم
من عوارض الألفاظ
Artinya:
“Keumuman itu yang dimaksudkan adalah lafazhnya.”
ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ
ﻻﻴﺘﻭﺼﺭ ﻓﻲﺍﻻﺤﻜﺎﻡ
Artinya:
“Keumuman itu tidak dapat menggambarkan suatu hukum.”
ﺍﻠﻌﺎﻡ ﻋﻤﻭﻤﻪ ﺸﻤﻭﻠﻲ
ﻭﻋﻤﻭﻡ ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﺒﺩﻠﻲ
Artinya:
“Al-‘Am itu umumnya bersifat menyeluruh, sedangkan lafazh umum yang mutlak
hanya bersifat sebagian.”
·
Pengertian
Khas
Khas ialah lafadz yang
menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain,
khas itu kebalikan dari `âm. Menurut istilah, definisi khas adalah:“Al-khas
adalah lafadz yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu,
seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan
beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah
masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadz-lafadz lain yang menunjukkan
bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu”
Dalam pengertian lain
khas adalah lafaz yang khash itu lafaz yang diletakkan untuk menunjukkan suatu
individu yang satu perseorangannya, seperti seorang laki-laki, atau menunjuk
kepada sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap penghabisan seluruh
individu-individu. Atau khas ialah lafadz yang tidak meliputi mengatakannya
sekaligus terhadap dua sesuatu atau beberapa hal tanpa menghendaki kepada
batasan.
·
Kaidah
yang berkaitan dengan khas atau khusus, misalnya :
ﺍﻥ ﺍﻠﺘﺨﺼﻴﺹ ﺍﻠﻌﻤﻭﻤﺎﺕ
ﺠﺎﺌﺯ
Artinya:
“Sesungguhnya pengkhususan lafazh umum adalah diperbolehkan.”
ﺍﻠﺼﻔﺔ ﻤﻥﺍﻠﻤﺨﺼﺼﺎﺕ
Artinya: “Sifat
itu bagian dari pengkhususan.”(2)
d)
Kaidah
yang berkaitan dengan manthuq (tersurat/tekstual) mafhum
(tersirat/kontekstual). Misalnya kaidah :
ﻭﺠﻤﻴﻊ ﻤﻔﺎﻫﻴﻡ ﺍﻠﻤﺨﺎﻠﻔﺔ
ﺤﺠﺔ ﺍﻻ ﻤﻔﻬﻭﻡ ﺍﻠﻠﻘﺏ
Artinya: “Semua
mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah, kecuali mafhum laqab.”
Menurut beliau menambahkan, selain kaidah lughawiyah, sebenarnya
ada pula kaidah tasyri’iyah, tetapi acuan pokoknya tetap kaidah bahasa. Yaitu
kaidah al-tasyri’iyah terdiri dari dua kata yaitu kaidah dan al-tasyri’iyah.
Apa yang dimaksud dengan kaidah, secara jelas telah penulis bahas pada
pembahasan qaidah al-ushuliyah. Adapun yang dimaksud dengan al-tasyri’iyah akan
diterangkan berikut ini.
B.
Metodologi Pemikiran Modern
Pemikiran modern dapat diartikan arah pemikiran yang maju menuju
kepada pembaharuan. Menurut Muhammad Abduh, terdapat 2 macam metodologi
pemikiran modern, yaitu:
a.
Pemikiran
modern yang sekuler, yakni pemikiran yang menjaga aqidah Islam, tetapi juga
mengaplikasikan pemikiran barat sebagai hukum positif. Pemikiran ini cenderung
kepada sekularisme, yang bertujuan memisahkan agama dan negara dan menjadikan
hukum positif barat sebagai pengganti syariat Islam yang masih memerlukan
pembenahan. Prinsip-prinsip tersebut telah diterapkan di Turki tahun 1924, dan
juga diterapkan di negara-negara lain. Namun, dengan sikap netral terhadap
tradisi dan lembaga-lembaga agama Islam.
b.
Pemikiran
modern yang agamis, yakni pemikiran yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai
mobilisasi rohani dan keagamaan. Pemikiran ini menerapkan aqidah dan syari’at
Islam sebagai sumber hukum paling utama dalam kehidupan beragama
C.
Metodologi Pendidikan Islam
Yang dimaksud
dengan metode pendidikan Islam ialah semua cara yang digunakan dalam upaya
mendidikan. Kata “metode” disini diartikan secara luas. Karena mengajar adalah
salah satu bentuk upaya mendidik, maka metode yang dimaksud disini mencakup
juga metode mengajar. Dalam literatur ilmu pendidikan, khususnya ilmu
pengajaran, dapat ditemukan banyak metode mengajar. Adapun metode mendidik,
selain dengan cara mengajar, tidak terlalu banyak dibahas oleh para ahli.
Sebabnya, mungkin metode mengajar lebih jelas, lebih tegas, objektif, bahkan
universal. Sedangkan metode mendidik selain mengajar lebih subjektif, kurang
jelas, kurang tegas, lebih bersifat seni dari pada sebagai sains. Jadi,
sebenarnya untuk kepentingan pengembangan teori-teori pendidikan Islam, masalah
metode mengajar tidaklah terlalu sulit.
Menurut Ahmad
Tafsir, karena metode-metode mengajar yang dikembangkan di Barat dapat saja
digunakan atau diambil untuk memperkaya teori tentang metode pendidikan Islam.
Metodik umum atau metodologi pengajaran telah membicarakan berbagai kemungkinan
metode mengajar yang dapat digunakan guru dalam menyelenggarakan kegiatan
belajar mengajar. Telah disediakan metode ceramah, tanya jawab, diskusi, metode
pemberian tugas dan resitasi, dan lain-lain. Guru dapat memilih metode yang
paling tepat ia gunakan. Dalam pemilihan tersebut banyak yang harus
dipertimbangkan, antara lain: 1. Keadaan murid yang mencakup pertimbangan
tentang tingkat kecerdasan, kematangan, perbedaan individu lainnya. 2. Tujuan
yang hendak dicapai, jika tujuannya pembinaan daerah kognitif maka metode Drill
kurang tepat digunakan. 3. Situasi yang mencakup hal yang umum seperti situasi
kelas, situasi lingkungan. Bila jumlah murid begitu besar, maka metode diskusi
agak sulit digunakan, apalagi bila ruangan tersedia kecil. Metode ceramah harus
dipertimbangkan antara lain jangkauan suara guru. 4. Alat-alat yang tersedia
akan mempengaruhi pemilihan metode yang akan digunakan. Metode eksperimen harus
tersedia, dipertimbangkan juga jumlah dan mutu alat itu. 5. Kemampauan mengajar
telah menentukan, mencakup kemampuan fisik, keahlian.
Bentuk metode
pendidikan Islam yang relevan dan efektif dalam pengajaran Islam adalah:
a.
Metode
Drakronis Suatu metode mengajar ajaran yang menonjol aspek sejarah. Metode ini
memungkinkan adanya study komperatif tentang berbagai penemuan dan pengembangan
ilmu pengetahuan, sehingga peserta didik memiliki ilmu pengetahuan yang
relevan. Metode ini menyebabkan peserta didik ingin mengetahui, memahami,
menguraikan dan meneruskan ajaran Islam dari sumber-sumber dasar, yakni
Al-Qur’an dan As-sunnah.
b)
Metode
Sinkronis-analitis Suatu metode pendidikan Islam yang memberikan kemampuan
analisis teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan dan mental
intelek. Metode ini semata-mata mengutamakan segi pelaksanaan atau implikasi
praktis. Teknik pengajarannya meliputi diskusi, lokakarya, seminar, kerja
kelompok resensi buku.
c)
Metode
Problem Solving Metode ini merupakan penelitian peserta didik yang dihadapkan
pada berbagai masalah suatu cabang ilmu pengetahuan dengan solusinya. Metode
ini dapat dikembangkan melalui simulasi, micro-teaching dan critacal incident.
Di dalam metode ini cara menegaskan keterampilan lebih dominan ketimbang
pengembangan pikiran peserta didik (mental intelektualnya). Sehingga terdapat
kelemahannya yakni terbatasnya perkembangan pikiran peserta didik mungkin hanya
terbatas pada kerangka yang sudah tetap dan akhirnya bersifat mekanistik.
D.
Metode Tekstual, Kontekstual dan Muqoronah Madzhab
a)
Metodek
Tekstual
Dalam mempelajari
agama diperlukan berbagai macam pendekatan agar substansi dari agama itu mudah
dipahami. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang
atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan
dalam memahami agama. Berbagai pendekatan manusia dalam memahami agama dapat
melalui pendekatan paradigma tersebut. Dengan pendekatan ini semua orang dapat
sampai pada agama. Di sini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli
kalangan teolog dan normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai
dengan pendekatan dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama merupakan hidayah
yang diberikan Allah kepada manusia Pendekatan tekstual merupakan salah satu
cara yang dipergunakan dalam memahami kajian Islam. Secara etimologis
(lughowi), tekstual berasal dari kata benda bahasa Inggris “text”, yang berarti
isi, bunyi, dan gambar-gambar dalam buku.
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, teks adalah naskah yg
berupa kata-kata asli dari pengarang, atau kutipan dari kitab suci untuk
pangkal ajaran atau alasan. Pemahaman tekstual adalah pemahaman yang berorientasi
pada teks dalam dirinya. Sedangkan interpretasi tekstual ialah memahami makna
dan maksud Alquran dan hadist sebagai sumber hukum Islam hanya melalui redaksi
lahirnya saja. Oleh karena itu, melalui pendekatan tekstual, wahyu dipahami
melalui pendekatan kebahasaan, tanpa melihat latar sosio-historis, kapan dan di
mana wahyu itu diturunkan. Bagi kaum tekstualis, makna sebuah kata terdapat dan
melekat dalam objek yang dituju. Padahal model perujukan makna demikian hanya
relevan pada katakata tertentu dan sangat terbatas, mislanya nama dan objek
fisik. Bagi kaum tekstualis, makna objek yang tunggal merupakan sesuatu yang
ideal untuk dijunjung tinggi.
Kecenderungan
golongan tekstualis yang berlebihan dalam metode penemuan hukum seperti ini
pada gilirannya telah memunculkan kesulitan dan ketidakcakapan hukum Islam itu
sendiri dalam merespon dan menyambut gelombang perubahan sosial (terlihat
saklek dan tidak fleksibel). Misalnya karakteristik kajian fiqh klasik yang law
in book oriented dan kurang memperhatikan law in action merupakan akibat dari
kecenderungan tekstualitas metodologi golongan tekstualis. Sehingga studi Islam
dengan hanya mengandalkan pendekatan tekstualis akan selalu tertinggal di
belakang sejarah; sampai batas tertentu bahkan mungkin ditinggalkan karena
tidak releven lagi dengan situasi dan kondisi aktual umatnya (konstektual).30
Oleh karena itu, dalam rangka memahami kata, kalimat dan struktur bahasa
Alquran harus ada kesadaran untuk mengakui akan wujud teks-teks agama yang
turun dalam konteks tertentu atau khusus (as-siyaq al-khas) dan teks-teks yang
turun dalam konteks yang lebih umum (as-siyaq al-„am). 31 Idealnya, sebuah
interpretasi yang komprehensif harus dilakukan dengan kombinasi dua pendekatan
sekaligus yaitu pendekatan tekstual dan kontekstual.32
b)
Pendekatan
Kontekstual
Kontekstual,
secara etimologis (lughowi), berasal dari kata benda bahasa Inggris “context”,
yang berarti suasana, keadaan. Dalam penjelasan lain disebutkan konteks berarti
bagian dari teks atau pernyataan yang meliputi kata atau bagian tertulis
tertentu yang menentukan maknanya; dan situasi di mana suatu peristiwa terjadi.
Konteks dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bagian suatu uraian atau
kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; situasi yang ada
hubungannya dengan suatu kejadian. Sehingga kata kontekstual dapat diartikan
sebagai sesuatu cara, metode, pendekatan atau apa saja yang mengacu pada konteks
(realitas). Sedangkan kontekstual, berarti sesuatu yang berkaitan dengan atau
bergantung pada konteks. Jadi, pemahaman kontekstual adalah pemahaman yang
didasarkan bukan hanya pada pendekatan kebahasaan, tetapi juga teks dipahami
melalui situasi dan kondisi ketika teks itu muncul.34 Dari pengertian ini, maka
paradigma kontekstual, secara umum dapat diartikan sebagai kecenderungan suatu
pandangan yang mengacu pada konteks.
Abuddin Nata
menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pemahaman kontekstual adalah upaya
memahami ayat-ayat Alquran sesuai dengan konteks dan aspek sejarah ayat itu,
sehingga nampak gagasan atau maksud yang sesungguhnya dari setiap yang
dikemukakan oleh Alquran. Alquran meruapakan wahyu Allah yang bersifat absolut.
Di dalamnya terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang Islam sebagai agama
yang tidak memberatkan umatnya. Ajaran Islam selalu relevan disepanjang zaman.
Oleh karena itu, maka diperlukan pemahaman Islam secara tekstual dan
kontekstual. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahawa Islam tekstual
adalah Islam yang dipahami berorientasi pada teks dalam dirinya. Oleh karena
itu, wahyu dipahami melalui pendekatan kebahasaan, tanpa melihat latar
sosiohistoris, kapan dan di mana wahyu itu diturunkan. Sedangkan Islam
kontekstual adalah Islam yang dipahami sesuai dengan situasi dan kondisi dimana
Islam itu dikembangkan.
Adanya Islam
kontekstual didasarkan pada latar belakang sejarah ketika Islam diturunkan,
sebagaimana diturunkannya Alquran. Alquran yang diturunkan selama tiga belas
tahun di Makkah (Surat Makkiyyah) misalnya, 37 berbeda dengan Alquran yang
diturunkan selama sepuluh tahun di Madinah (Surat Madaniyah). terjadinya
perbedaan corak dan isi tersebut disebabkan antara lain karena perbedaan
sasaran, tantangan, dan masalah yang dihadapi di dua daerah tersebut
Oleh karena itu,
kontekstual dalam hal ini mengandung tiga pengertian utama yaitu: (1) upaya
pemaknaan dalam rangka mengantisipasi persoalan dewasa ini yang umumnya
mendesak, sehingga arti kontekstual identik dengan situasional; (2) pemaknaan
yang melihat keterkaitan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang; di mana
sesuatu akan dilihat dari sudut makna historis dulu, makna fungsional saat ini,
dan memprediksikan makna (yang dianggap relevan) di kemudian hari; dan (3) Mendudukkan
keterkaitan antara teks Alquran dan terapannya.
Metode
kontekstual, seperti telah dikemukakan Rahman adalah metode yang mencoba
menafsirkan Alquran berdasarkan pertimbangan analisis bahasa, latar belakang
sejarah, sosiologi, dan antropologi yang berlaku dan berkembang dalam kehidupan
Arab pra-Islam dan selama proses wahyu Alquran berlangsung. Metode kontekstual
ini secara substansial berkaitan erat dengan hermeneutika, yang merupakan salah
satu metode penafsiran teks yang dapat berangkat dari kajian bahasa, sejarah,
sosiologis dan filosofis.
Pada dasarnya,
kelompok tekstualis lebih mementingkan makna lahiriah teks. sedangkan kelompok
kontektualis yang lebih mengembangkan penalaran terhadap konteks yang berada di
balik teks. Dengan menggunakan pendekatan tekstual sekaligus konstektual dalam
menginterpretasikan wahyu, seyogyanya dapat menghasilkan sebuah interpretasi
yang komprehensif dalam studi Islam. Berdasarkan penjelasan tersebut maka
metode tekstual dan kontekstual dapat dijadikan sebagai sebuah pendekatan untuk
memahami ajaran agama Islam.
c)
Muqoronoh
Madzhab
Pengertian Muqaranah Madzahib
Secara etimologi
muqaranah dalam kamus al-Munjid berasal dari kata kerja qarana, yang artinya
membandingkan dan arti muqaranah itu sendiri, kata yang menunjukkan keadaan
atau hal yang berarti membandingkan atau perbandingan. Membandingkan di sini
adalah membandingkan antara dua perkara atau lebih, seperti misalnya: Ia telah
membandingkan dua perkara
Menurut bahasa
madzhab berarti jalan atau tempat yang dilalui. Kata madzhab berasal dari kata
dzahaba – yadzhabu – dzahaban – dzuhuban – madzhaban. Madzhab juga berarti
pendirian. Menurut istilah para faqih madzhab mempunyai dua pengertian, yaitu
:Pendapat salah seorang imam mujtahid tentang hukum suatu masalah Kaedah –
kaedah istinbat yang dirumuskan oleh seorang mujtahid.
Dari kedua
pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa pengertian madzhab adalah hasil
ijtihad seorang imam (mujtahid mutlak mustaqil) tentang hukum suatu masalah
atau tentang kaedah kaedah istinbatnya. Maka yang dimaksud dengan muqaranah
madzahib dalam disiplin ilmu adalah ilmu yang mempelajari tentang perbandingan
hukum dari berbagai madzhab, baik dari segi persamaan maupun perbedaannya
kemudian mengambil mana yang tepat untuk dijadikan landasan hukum.
Dengan kata lain
muqarah madzahib merupakan bidang yang mengkaji dan membahas tentang hukum yang
terdapat dalam berbagai madzhab dengan cara membandingkan satu sama lainnya
agar dapat melihat tingkat kehujjahan yang dimiliki oleh masing-masing madzhab
tersebut serta mencari segi- segi persamaan dan perbedaannya.
Dikalangan umat
islam ada empat madzhab yang paling terkenal yaitu madzhab hanafi (80 – 150H),
madzhab maliki (93 – 179 H), madzhab syafi’I (150 – 204H), dan madzhab hanbali
(164 – 241H). Selain empat madzhab tersebut, masih banyak madzhab lain seperti
: hasan bashri, ats-tsauri, daud adz-zhahiri, al-auza’I, syi’ah imamiyah dan
syiah zaidiyah.
Kalau kita
perhatikan dalam menetapkan suatu hukum, adakalanya terdapat perbedaan pendapat
diantara imam madzhab itu, walaupun sama meruju’ pada al-Qur’an dan sunnah
rasulullah, disamping sumber hukum lainnya, baik yang muttafaq alaihi maupun
yang mukhtalaf fihi jalan pikiran imam mujtahid inilah yang perlu kita lihat
dan telaah dan kemudian menbanding – bandingkannya. Terus lebih baik lagi,
apabila kita mengetahui latar belakang ataupun dasar seorang mujtahid
menetapkan suatu hukum. Mungkin karena dipengaruhi oleh lingkungan atau masa,
disamping sumber hukum yang dipergunakan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Oleh
karena Ushul Fiqih berbicara tentang bagaimana mengeluarkan hukum , maka di
dalam ushul fiqih dibicarakan tentang hukum baik ta’rifnya maupun
pembagiannya, yaitu dalam hukum taklifi, dan ada hukum wad’i. Hukum taklifi
pada prinsifnya terdiri dari: Al-Ijabah, Al-Nadb, Al-Tahriem, Al-Karohah, dan
Al-Ibahaah. Sedangkan yang dibicrakan hukum Wad’i terdiri dari :
Asbab,Asy-aat, Al-maani, Syah, Bathal. Azimah dab rukhsah.
2.
Bagaimana
hukum itu dikeluarkan dari dalil-dalilnya. Inilah inti dari
pembahasan Ushul Fiqih. Didalam bagian ini dibahas tentang dalil-dalil hukum,
seperti hal-hal sekitar al-qur’an, Assunah, Ijma, Qiyas, Istihsan, Al-maslahah
al-Mursalah, Al-Urf, Al-Istishhab, Syara umat sebelum kita, Madzhab Shohabi, Saddu
Al-dzarri’ah dan lain sebagainya yang berkaitang dengan dalil-dalil syara.
3.
Pembahasan
disekitar Hakim, yaitu pembahasan yang menjelaskan bahwa Allah SWT. Yang
menetapkan hukum. Hukum Allah Swt. Ini disampaikan melalui Rasulallah saw.
4.
Pembahasan
tentang Mahkum fiqih, yaitu pembahsan sekitar perbuatan mukallaf yang diberi
hukum (perbuatan hukum). Diantaranya dibicarakan tentang syarat syah taklif,
seperti taklif itu harus diketahui oleh mukallaf, harus mungkin dilaksanakan
dan taklif tersebut harus dating dari yang mempunyai kewenangan mentaklif .
5.
Pembahasan
tentang mahkum ‘alaih, yaitu orang mukallaf yang dibebani hukum.Singkatnya
pembahasan tentang subyek hukum.
6.
Dengan
demikian metodologi Ilmu Fiqih yaitu dengan jalan melakukan Ijtihan sebagai suatu
proses untuk mengeluarkan/memprodak hukum Sebagai jawaban atas masalah –masalah
yang baru dan tidak ada dalil hukumnya yang qoth’i.
Daftar Rujukan
Beni Ahmad
Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009,
Koto, Alaidin. 2004.
Ilmu Fiqih Dan Ushulul Fiqih. Jakarta: Rajawali Pers.
Hakim, Abdul
Hamid. 1928. مبادى أولية في أصول الفقة. Jakarta: Sa’adiyah putra
Hermawan,
Hendri & Hasan Ahmad, Memahami Studi Islam dengan Pemahaman Tekstual dan
Kontekstual. Semarang. 2020
Tafsir, Ahmad,
2007, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar