• MAKALAH PISIKOLOGI PENDIDIKAN ( KEPRIBADIAN ) Mantap Jiwa LENGKAP



    BAB I
    PENDAHULUAN

    A.    Latar Belakang
           Manusia adalah makhluk yang kompleks, kekompleksitasan manusia itu tiada taranya di muka bumi ini. Manusia lebih rumit dari makhluk apapun yang bisa dijumpai dan jauh lebih rumit dari mesin apapun yang bisa dibuat. Manusia juga sulit dipahami karena keunikannya. Dengan keunikannya, manusia adalah makhluk tersendiri dan berbeda dengan makhluk apapun. Juga dengan sesamanya. Tetapi, bagaimanapun sulitnya atau apapun hambatannya, manusia ternyata tidak pernah berhenti berusaha menemukan jawaban yang dicarinya itu. Dan barang kali sudah menjadi ciri atau sifat manusia juga untuk selalu mencari tahu dan tidak pernah puas dengan pengetahuan-pengetahuan yang diperolehnya, termasuk pengetahuan tentang dirinya sendiri dan sesamanya.
           Sekian banyak upaya yang telah diarahkan untuk memahami manusia. Tetapi tidak semua upaya tersebut membawa hasil, namun upaya pemahaman tentang manusia tetap memiliki arti penting dan tetap harus dilaksanakan. Bisa dikatakan bahwa kualitas hidup manusia, tergantung kepada peningkatan pemahaman kita tentang manusia. Dan psikologi, baik secara terpisah maupun sama-sama dengan ilmu-ilmu lain, sangat berperan secara mendalam dalam penganganan masalah kemanusiaan ini.
    Kepribadian sangat mmencerminkan perilaku seseorang. Kita bisa tahu apa yang sedang diperbuat seseorang dalam situasi tertentu berdasarkan dpengalamn diri kita sendiri. Hal ini karena dalam banyak segi, setiap orang adalah unik, khas. Oleh karena itu kita membutuhkan sejenis kerangka acuan untuk memahami dan menjelaskan tingkah laku diri sendiri dan orang lain. Kita harus memahami definisi kepribadian serta bagaiman kepribadian itu terbentuk.Untuk itu kita membutuhkan teori-teori tingkah laku, teori kepribadian agar gangguan-gangguan yang biasa muncul pada kepribadian setiap individu dapat dihindari.
    Mempelajari kepribadian merupakan hal yang menarik karena dinamika pengetahuan mengenai diri kita sendiri secara otomatis akan bertambah. Hal ini karena hakikatnya manusia adalah yang ada dan tumbuh berkembang dengan kepribadian yang menyertai setiap langkah dalam hidupnya


    B.     Rumusan Masalah
    1. Bagaimana pngertian kepribadian?
    2. Ada berapa pendekatan dalam studi kepribadian?
    3. Apa saja struktur kepribadian?
    4. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian?

    C.    Tujuan Masalah
    1. Untuk mengetahui tentang pengertian kepribadian.
    2. Untuk mengetahui pendekatan dalam studi kepribadian.
    3. Untuk mengetahui struktur kepribadian.
    4. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian.










    BAB II
    PEMBAHASAN

    A.    PENGERTIAN KEPRIBADIAN (PERSONALITY)
           Personality, yang biasanya diterjemahkan dengan kepribadian, sebenarny mengandung pengertian yang dalam dan luas. Bahkan, seluruh penyelidikan psikologi pada dasarnya bertitik sentral pada penyelidikan mengenai apakah kepribadian itu sesungguhnya. Segala upaya untuk mengerti manusia, bagaimana tingkah laku dan sikap manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Termasuk juga bagaiman cara-cara mengtasi kebutuhan hidup dalam lingkup upaya untuk mengerti kepribadian itu.
           Para ahli psikologi pada umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kepribadian itu bukan hanya mengenai tingkah laku yang dapat diamati saja, melainkan juga termasuk didalamnya apakah sebenarnya individu itu. Oleh karena itu sebelum diuraikan terlebih dahulu beberaapa pengertian yang sangat erat hubungannya dengan masalah kepribadian seperti individualitas (individuality), tempramen, dan karakter.
    1.        Individualitas
           Istilah individualitas dipakai untuk menunjukkan wujud diri sendiri dan sifat otonom serta sifat unik tiap-tiap pribadi manusia. Namun, sifat otonom dan unik ini bukanlah menjadi persoalan pokok dalam penyelidikan psikologi, meskipun di lain pihak ada juga ahli yang mengkhususkan penyelidikannya pada hal tersebut, yaitu psychological individuality (psikologi individu).
           Objek psikologi individu ini ialah susunan yang kompleks dari kebiasaan dan pikiran serta ekspresi yang khusus pada individu, seperti sikap, sifat, dan filsafat hidup. Sedangkan hal yang sangat menarik bagi para ahli psikologi ialah keseluruhan psycho-pphysical-individuality. Dan, semuanya itu sudah tercakup dalam pengertian kepribdian itu.
    2.      Tempramen
           Tempramen adalah sifat-sifat jiwa yang erat hubungannya dengan konstitusi tubuh. Yang dimaksud dengan konstitusi tubuh di sini adalah keadaan jasmani seseorang yang terlihat dalam hal-hal yang khas baginya, seperti keadaan darah, pekerjaan kelenjar, pencernaan, pusat saraf (Ngalim Purwanto, 1984:114).
           Dalam tubuh seseorang terdapat beberapa cairan yang mempunyai pengaruh atau kekuatan yang dapat memberi dasar sifat-sifat seseorang yang dibawa sejak lahir. Jadi, cairan yang ada didalam tubuh seseorang itu sifatnya relatif konstan. Oleh karena itu tempramen sukar diubah atau dididik dan tidak dapat dipengaruhi oleh kemauan atau kata hati yang bersangkutan.    
    3.      Karakter
           Istilah karakter ini sering dipermasalahkan dengan istilah kepribadian. Itulah sebabnya ilmu pengetahuan yang mempelajari kepribadian juga disebut dengan karakterologi (ilmu watak). Tetapi, dalam psikologi yang lebih modern dewasa ini, pemakaian istilah karakter dan kepribadian dibedakan: karakter hanya mengenai beberapa fase khusus dari kepribadian, sedangkan kepribadian adalah keseluruhan sifat dan seluruh fase dari pribadi manusia.
           Terkait dengan karakterologi, karakter dapat diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang tampak dalam tingkah laku dan perbuatan sebagai akibat pengaruh pembawaan dan lingkungan. dengan kata lain, karakter tergantung pada kekuatan dari luar (eksogen). Jadi, pembawaan dan lingkungan dapat mempengaruhi karakter individu, atau dapat dikatakan bahwa karakter dapat diubah dan dididik.
    4.      Uraian (lanjutan) Masalah Temperatur Karakter
           Penyelidikan terhadap temperaturan dan watak (karakter) manusia telah dilakukan sejak dahulu kala. Diketahui bahwa manusia termasuk makhluk psychosomatis, yaitu makhluk yang terdiri dari unsur jasmaniah dan ruhaniah. Kedua unsur ini saling mempengaruhi kesempurnaan dan kelemahan di suatu pihak mempengaruhi pihak lain, sehingga terjadi dinamika (ketegangan) antara keduanya. Dengan demikian unsur jaasmaniah itu menentukan kondisi karakter, dan sebaliknya karakter itu mempengaruhi ekspresi fisik dan tingkah laku jasmaniah. Dengan memperhatikan perbedaan bentuk dan susunan tubuh manusia, maka para ahli mencoba memahami karakter seseorang dan menyusun suatu tipologi.
           Sehubungan dengan itu, para ahli psikologi kepribadian menyusun karakter individu berdasarkan hasil penyelidikan masing-masing. Dalam hal ini hasil penyelidikan seseorang ahli berbeda dengan ahli-ahli yang lain, sebagaimana yang terlihat pada beberapa macam karakter berikut:


    a. Pembagian karakter menurut Hippocrates dan Galenus
         Hippocrates dan Galenus (400 SM dan 175 M), keduanya menganalisis unsur-unsur pokok yang ada didalam diri manusia, seperti darah, empedu kuning, dan lendir. Bila manusia memiliki memiliki salah satu unsur dari yang tersebut itu dalam kadar yang lebih banyak dari yang lain, maka watak atau karakter individu adalah perwujudan dari unsur-unsur yang dominan itu tadi.
         Berdasarkan pada dominasi salah satu dari keempat cairan tersebut, Galenus membagi karakter individu menjadi empat macam:
    (Kartini Kartono, 1980:52), yaitu:
    1) Sanguinikus; dominasi dari darah merah (sanguis), orang yang bersifat gembira, lincah rencah.
    2) Flegmatikus; dominasi dari lendir putih (flegma), individunya bersifat tenang, tidak mudah tergerak.
    3) Kholerikus; dominasi dari empedu kuning (chole), orangnya berifat garang, hebat, bengis, dan mudah marah.
    4) Melankholikus; dominasi dari empedu hitam (melabkhole), orangnya bersifat pesimistis, bengis, dan muram.
    b. Pembagian karakter menurut Kretschmer
         Kretschmer, seorang psikiatris (ahli penyakit jiwa) berkebangsaan Jerman dan penulis buku Korperbau und Character yang diterbitkan tahun 1921, telah menunjukkan kepada kita mengenai adanya hubungan erat antara tipe-tipe tubuh seorang dengan sifat-sifat dan wataknya. Kretschmer membagi manusia kedalam empat golongan menurut tipe atau bentuk tubuhnya masing-masing (F. Patty, 1982: 153), yaitu:
    1) Tipe pignis atau pyknoid; orang dengan perawakan gemuk (bundar), mempunyai sifat humor, gembira, optimis.
    2) Tipe atletis; yang bertubuh atlet, mempunyai sifat realistis, punya watak ingin berkuasa, ekstrovett, supel dalam pergaulan.
    3) Tipe astenis; yang bertubuh kurus (tipis), biasanya punya watak pemurung, kalau dalam pergaulan mudah tersinggung (sensitif).
    4) Tipe displatis (hypoplastic): orang yang perkembangannya tidak normal atau kerdil, selamanya mempunyai perasaan inferioritas.
         Pasca Kretschmer, masih banyak para psikolog yang mencoba menyelidiki sifat-sifat dan watak-watak manusia berdasarkan tipe-tipe tubuhnya atau kelenjar-kelenjar yang ada dalam tubuh manusia. Adalah Cannon, seorang berkebangsaan Amerika Serikat, yang telah membuktikan hal itu.
         Berdasarkan penyelidikannya, Cannon mengklasifikasi tipe manusia berpedoman pada kelenjar dan fungsi kelenjar itu. Beberapa hasil penyelidikan tersebut pada prinsipnya menyatakan bahwa ada hubungan yang erat antara struktur fisik dengan watak atau tingkah laku, yang disebut physical types.
    c. Pembagian karakter menurut Spranger
         Spranger, psikologi Jerman mencoba mengadakan penyelidikan terhadap watak manusia dengan cara lain. Ia mengadakan penggolongan tipe manusia berdasarkan sikap manusia itu terhadap nilai-nilai dan bidang pengetahuan yang ada merupakan kebudayaan yang membentuk pribadi manusia. Atas dasar ini, Spranger membedakan enam tipe karakter manusia (Ngalim Purwanto, 1984: 150) sebagai berikut:
    1) Manusia ekonomi, sifatnya suka bekerja, mencari untung.
    2) Manusia sosial, sifatnya suka mengabdi dan berkorban untuk kepentingan orang lain.
    3) Manusia kuasa/politik, sifatnya suka menguasai orang lain.
    4) Manusia teori, sifatnya suka berpikir, berfilsafat, mengabdi kepada ilmu.
    5) Manusia seni, sifatnya suka menikmati/mengenyam keindahan.
    6) Manusia agama, sifatnya suka berbakti dan beribadah.
         Sayangnya, pembagian tipe karakter manusia ala Spranger tersebut hanyalah berdasarkan pemikiran spekulatif saja, bukan berdasarkan observasi atau eksperimen yang benar-benar dilakukan terhadap kenyataan di dalam masyarakat.
    d. Pembagian karakter menurut Heymans
         Heymans, seorang psikolog Belanda, melihat bahwa tingkah laku manusia itu ditentukan oleh kekuatan-kekuatan itu diselidiki dengan angket, biografi, dan observasi, dan ternyata ada tiga asas yang menentukan tingkah laku (F. Patty, 1982: 159-160) dan bahkan sifat (traits) seorang individu, yakni:
    1) Asas emosionalitas, yaitu hal cepatnya atau mudahnya seorang terpengaruh oleh emosi (perasaannya) dalam hubungan dengan situasi dan stimulus.
    2) Asas aktivitas, ialah suatu sifat yang menunjukkan mudahnya seorang melakukan suatu perbuatan secara spontan. Artinya, individu yang memiliki asas aktivitas ini selalu ingin aktif bekerja melakukan kegiatan-kegiatan.
    3) Asas fungsi sekunder (secondary-function), yakni sifat lamanya seseorang terpengaruh oleh tanggapan-tanggapan tertentu dan ini menimbulkan kesan-kesan yang mendalam yang mempengaruhi tingkah laku orang itu. Dengan kata lain, fungsi sekuder ialah hal menerima dan menyiapkan lama dan dalamnnya seorang menerima kesan-kesan dari pada suatu peristiwa atau situasi.
         Dalam menetapkan sifat-sifat seseorang, Heymans menyelidiki asas manakah yang paling dominan pada seorang. Artinya, bila ada salah satu, atau asas semua itu, atau sebaliknya. Tidak ada sama sekali ketiga asas itu di dalam pribadi seseorang sebagaimana gambaran asas-asas tersebut.
         Pada hakikatnya Heymans menemukan bahwa ada delapan tipe watak seorang berdasarkan ada atau tidaknya ketiga asas yang dia kemukakan itu pada seseorang. Tipe karakter manusia menurut Heymans itu dapat disusun dalam tabel (F.Patty, 1982: 159-160) sebagai berikut:

    NO
    Tipe
    Seorang
    (E) Emosionalitas
    (A) Aktivitas
    (FS)
    Fungsi
    Sekunder
    1.
    Amorf
    -
    -
    -
    2.
    Sanguinis
    -
    +
    -
    3.
    Flegmatis
    -
    +
    +
    4.
    Apatis
    -
    -
    +
    5.
    Nerves
    +
    -
    -
    6.
    Koleris
    +
    +
    -
    7.
    Berpasi
    +
    +
    +
    8.
    Sentimental
    +
    -
    +

    Keterangan :
    +     : berarti ada
    -        : berarti tidak ada
         Berdasarkan kuat dan tidaknya ketiga jenis asas itu, maka tipologi dan sifat watak seorang, menurut Heymans, dapat dijabarkan sebagai berikut:
    1) Tipe Amorf (E-, A-, FS).
         Orang yang bertipe ini tidak emosional, tidak aktif, dan fungsi sekundernya lemah. Biasanya orang yang bertipe ini memiliki sifat-sifat dalam berpikir intelektual kurang, berpikiran dangkal, tidak praktis, picik, pembeo (yes man), kaku, dan tidak cepat paham serta pelupa.
         Dalam pergaulan bersikap dingin, singkat bicaranya, gampang dikuasai orang lain, dan suka mengisolir diri (menyepi). Mereka juga suka minum, pemboros, dan pemain.
    2) Tipe Sanguinis (E-, A+, ­­FS-)
         Orang yang bertipe ini sifatnya infantilistis (kekanak-kanakan), karena itu emosionalnya lemah, tetapi aktivitasnya kuat. Sedangkan fungsi sekundernya lemah. Biasnya orang bertipe ini memiliki sifat-sifat antara lain bertindak secara wajar, cekatan, dan berani. Meskipun suasana hatinya tenang, di sisi lain dia juga periang. Dia suka bergaul, suka membaca, dan ingatannya kuat. Pandangan luas, mudah paham, ingatannya setia, terutama dalam mengenal orang-orang sekitarnya.
    3) Tipe Flegmatis (E-, A+, FS+)
         Orang yang bertipe ini dapat menguasai emosi, atau tidak cepat dipengaruhi emosi, tetapi aktivitas dan fungsi sekundernya kuat. Biasanya memiliki sifat-sifat antara lain tenang, sabar, teratur, dan bijak. Dalam bekerja tekun, optimis dalam pergaulan, mandiri, cerdas, ingatan kuat, daya tanggapan baik, suka membaca dan senang berpikir dan biasanya banyak perhitungan (mathematisch).
    4) Tipe Apatis (E-, A-, FS+)
         Orang bertipe ini dijuluki manusia mesin. Orang bertipe ini memiliki emosionalitas dan aktivitas yang lemah, tetapi fungsi sekundernya kuat. Sifat-sifat yang dimilikinya antara lain suka menyendiri, pendiam, sama sekali tidak ada self respect, jauh dari rasa gila hormat (ingin berkuasa).
         Hal ini karena sifatnya yang kurang berani, sukar dalam mengambil keputusan, teguh berpegang pada pendirian, dan juga pendendam. Dia apatis terhadap soal-soal politik, tidak praktis, dan memiliki pandangan politik yang konservatif.
    5) Tipe Nerves (E-, A-, FS-)
         Orang bertipe ini pada umumnya menampakan sebuah kehidupan emosi yang kuat yang sering berubah dan sukar diduga. Orang penggugup, sedangkan aktivitas dan fungsi sekundernya lemah (negatif). Sifat-sifat yang dimilikinya antara lain mudah tersinggung jika dirangsang suatu stimulus, bersikap garang, dan mudah kehilangan keseimbangan.
         Dalam pergaulan, dia suka membantah dan menegur orang lain, serta agresif dalam tindakannya. Manusia bertipe ini dalam hidupnya sering tidak tenang, tidak sabar, dangkal dalam berpikir dan berpendapat, dan juga tidak praktis. Kalau berpidato gugup mengemukakan pokok-pokok pikirannya, namun tampak serius dan kaku.
    6) Tipe Koleris (E+, A+, FS-)
         Orang bertipe ini memiliki emosionalitas yang kuat dan aktivitasnya positif. Sedangkan fungsi sekundernya lemah. Sifat-sifat yang dimilikinya antara lain sangat lincah dalam pergaulan, suka memanfaatkan waktu yang terulang, impulsif, dan berani. Orangnya cekatan dan praktis, namun kurang mendalam dalam berpikir. Keadaan emosinya kuat dan berubah-ubah, optimis, dan riang gembira.
         Ingatannya sangat kuat, bersikap hati-hati dan telaten. Dalam ilmu pengetahuan, dia lebih suk berpikir tidak abstrak. Dalam soal keuangan, dia termasuk pemboros.
    7) Tipe Berpasi (E+, A+, FS+)
         Orang yang bertipe ini kadang-kadang disebut gepassionurden (orang hebat), karena ketiga asas tingkah laku positif ada pada tipe manusia ini. Orang yang bertipe ini memiliki sifat-sifat antara lain kurang sabar, bersikap curiga, suka mengkritik dan jika tersinggung sukar memaafkan. Selain itu, dia juga suka bekerja teratur, tekun, teliti, dan mandiri.
         Dia mempunyai target tertentu, ambisius (gila kekuasaan). Sikap dan tindakannya keras dan berani. Orang bertipe ini lebih ditakuti oleh masyarakat dari pada dicintai. Perasaan famili sistemnya kuat. Dalam scoup nasional, dia adalah patriot yang baik dan loyal. Dalam kehidupan pribadi dan selaku pemimpin, dia suka menolong keluarga dan bawahannya. Hidupnya  penuh semangat dan jika berpidato berapi-api, pandai membakar semangat dan sikap orator.
    8) Tipe Sentimental (E+, A-, FS+)
         Tipe ini dianggap manusia perayu, emosionalitasnya kuat tetapi tidak aktif. Sedangkan fungsi sekundernya positif. Sifat-sifat yang dimilikinya antara lain dia berpengaruh dan dapat mempengaruhi orang lain dengan idealismenya. Namun, dia suka mengisolir diri. Dia cinta kepada alam, namun tidak periang dan tidak mudah tertawa. Dalam pergaulan orang bertipe ini agak kaku, tetapi jujur dan setia.
    e. Pembagian Karakter menurut Fritz Kunkel
         Fritz kunkel adalah seorang ahli penyakit saraf di Berlin. Kunkel membagi tipe karakter manusia berdasarkan individual-psychologie (psikologi individu). Dasar pembagian tipologi Kunkel adalah teori mengenai strurktur hidup kejiwaan.
         Menurutnya, seluruh kepribadian manusia terutama wataknya dikuasai oleh dua buah asas berlawanan (F. Patty, 1982: 175), yaitu:
    1) Ichhaftigkeit; hasrat mengabdi kepada Ego (ke-akuan), mengabdi kepada diri sendiri
    2) Sachlichkeit; hasrat mengabdi kepada masyarakat, penyesuaian diri kepada lingkungan.
         Kedua asas ini merupakan motif dasar dalam segala tindakan individu, karena itu kedua asas inilah yang menentukan bagaimana watak atau karakter itu sesungguhnya. Namun, apakah motif tindakan manusia itu ichhaftigkeit ataukah sachlichkeit, hanya individu itu sendiri yang mengetahuinya. Jadi, suatu peilaku atau tindakan seseorang itu merupakan perjuangan motif-motif pemilihan antara keakuan dan sikap sosial.
         Kedua asas ini tidak bersifat mutlak,; salah satu ada pada seseorang. Artinya, individu itu dapat saja dengan alasan-alasan tertentu melakukan sesuatu dengan asas ichhaftigkeit ataukah sachlichkeit.
         Sebagai contoh, suatu saat kita melihat orang tua jatuh di jalan. Seorang anak laki-laki datang berlari-lari menolongnya. Pertolongan itu dapat mempunyai dua macam alasan. Pertama, anak itu hendak memperoleh nama baik dengan perbuatannya itu (ichhaftigkeit). Kedua, dia memberi pertolongan karena dia merasa orang itu perlu; lain tidak. Jadi, dia memberatkan akunya, tetapi faedahnya yang utuh (sachlichkeit).
         Pada kebanyakan orang, kedua maksud itu timbul bersama-sama. Biasanya orang menolong orang lain karena dorongan yang berkisar pada rasa belas kasihan. Tetapi, juga sedikit banyak ada perasaan bangga bahwa dia dapat berjasa. Untuk itu, tidak ada salah satu asas secara murni sebagai motif suatu tindakan, melainkan antara keduannya ada overlapping (percampuran). Hanya saja, mana lebih kuat pengaruhnya dalam menolong suatu tindakan pada tiap-tiap orang tidaklah sama.
         Orang tipe ichhaftigkeit yang paling murni ialah orang yang gila, karena yang disadarinya hanya akunya, hubungan sosialnya terputus sama sekali. Bahkan dia tidak menyadari realita sebagai kenyataan yang sebenarnya. Orang inilah yang mengalami psychose yang parah.
         Sebaiknya, orang bertipe sachlichkeit yang semurni-murninya adalah para pahlawan, wali, altruist, pengabdi, saintist. Manusia tipe ini tidak pernah menghiraukan keakuannya sedikit pun. Mereka hanya memikirkan dan ingin mengabdi semata-mata kepada orang lain. Hubungan dirinya dengan masyarakat sangat rapat.
         Fritz Kunkel sebenarnya tidak mengemukakan pembagian karakter, melainkan hanya mengemukakan apa yang disebut dengan termometer harga diri.
    f. Pembagian karakter menurut C.G. Jung
         C.G Jung adalah seorang ahli penyakit jiwa dari Swiss. Dia adalah salah seorang murid Freud, ahli Diepte Psychology. Aliran psikologinya disebur Analytische Psychologie.
         Titik tolak tipologi Jung adalah arah permainan manusia. Ia mengatakan bahwa perhatian manusia itu tertuju kepada dua arah, yakni ke luar dirinya yang disebut extrovert, dan ke dalam dirinya yang disebut invorent.
         Lalu ke mana arah perhatian manusia itu yang terkuat; ke luar atau ke dalam dirinya, maka itulah yang menentukan tipe watak manusia menurut Jung dapat dibagi menjadi dua golongan besar (Ngalim Purwanto, 1984: 152) yaitu:
    1) Tipe extrovert, orang-orang yang perhatiannya lebih diarahkan ke luar dirinya, kepada orang lain, kepada masyarakat.
    2) Tipe introvert, orang yang perhatiannya mengarah kepada dirinya, kepada akunya.
         Orang yang bertipe extrovert, karena banyak dipengaruhi oleh dunia objektif (diluar dirinya), maka pikirkan, perasaan dan tindakannya pun lebih banyak ditentukan oleh lingkungannya. Sifat-sifat yang dimiliki orang bertipe ini antara lain berhati terbuka, lancar dalam pergaulan, ramah. Mereka mudah mempengaruhi dan mudah pula dipengaruhi oleh lingkungannya. Negatifnya, apabila ikatan dengan dunia luar terlampau kuat, maka dia tenggelam di dalam dunia objektif dan kehilangan niali dirinya atau asing terhadap dunia subjektifnya sendiri.
         Kemudian orang bersifat introvert, karena banyak dipengaruhi oleh dunia subjektif (dalam dirinya), maka pikiran, perasaan, dan tindakannya pun lebih ditentukan faktor-faktor subjektif. Maka dari itu, sifat-sifat yang dimilikinya antara lain kurang baik penyesuaiannya dengan dunia luar, dirinya tertutup, sukar bercanda, sukar bergaul dengan orang lain, pendiam, sukar diselami batinya, suka menyendiri, misalnya di laboratorium dan perpustakaan. Negatifnya, kalau jarak dengan dunia objektif terlalu jauh, maka ia akan terlepas dari dunia objektifnya.
    5. Kepribadian (Personality)
    a. Pengertian kepribadian (personality) secara etimologis
         Ditinjau dari sudut historis etimologis, istilah personality dalam bahsa Inggris berasal dari bahasa Latin “persona”, yang berarti mengeluarkan suara (to sound through). Pada mulanya istilah persona ini digunakan untuk menunjukkan suara dari seorang pemain sandiwara melalui topeng (masker) yang dipakainya di mana suara pemain itu diproyeksikan.
         Lambat laun istilah persona berubah menjadi istilah yang mengacu kepada gambaran sosial tertentu yang diterima oleh individu dari kelompok atau masyarakatnya. Kemudian individu tersebut diharapkan bertingkah laku berdasarkan atau sesuai dengan gambaran sosial (peran) yang diterimannya itu.
         Dari sejarah definisi tersebut diatas, tidaklah mengherankan bila istilah persona yang mula-mula berarti topeng itu kemudian diartikan dan menunjukkan pengertian dari kualitas karakter atau watak yang dimainkan dalam sandiwara itu. Kini, istilah personality oleh para ahli psikologi dipakai untuk menunjukkan sesuatu yang nyata dan dapat dipercaya tentang individu, dan untuk menggambarkan bagaimana dan apa sebenarnya individu itu.
         Pada hakikatnya, setiap individu atau manusia pada satu situasi tertentu akan melakukan sesuatu yang berbeda dengan sikap-sikap dan kebiasaanya. Dan dalam setiap situasi, respons dan tanggapan manusia itu sering kali berbeda-beda. Sesekali ia bertingkah laku penuh kemarahan, kali lain ia menjadi lembut dan peramah, pada saat lain lagi ia menjadi murung dan duka. Jadi, sangat sulit bagi kita untuk memberikan batasan akan hakikat sifat dan sikap seseorang. Untuk itu, salah satu tugas dari teori kepribdian ialah melepaskan kedok yang melekat pada seseorang, dan mencoba mengerti sifat dan karkter yang sebenarnya. Jadi, ada hasrat ingin tahu mengenai psikis yang sebenarnya dari sesama manusia (Kartini Kartono, 1980: 8).
         Sartain, psikologi Amerika Serikat mengemukakan bahwa istilah persinality utamanya menunjukkan suatu organisasi dari sifat-sifat dan aspek-aspek tingkah laku lainnya yang salung berhubungan di dalam suatu individu (Sartain, 1959: 133-134). Dengan demikian sifat-sifat dan aspek-aspek ini bersifat psikofisik yang menyebabkan individu bertingakah laku seperti apa adanya, dan menunjukkan adanya ciri khas (karakteristik) yang membedakan individu itu dengan individu lain. Termasuk di dalamnya adalah sikap, kepercayaan, nilai-nilai dan cita-cita, pengetahuan dan ketrampilan.
         Sebenarnya manusia sendiri sangat kesulitan untuk memahami arti dan hakikat dirinya, bagaimana dan siapa gerangan didirinya itu. Dan biasanya orang lainlah yang lebih bisa mengerti diri kita sendiri. Oleh karena hasrat untuk mengenal diri sendiri itu sangat sulit, maka kita harus senantiasa memperjuangkannya, agar dengan pengenalan diri itu kita dapat memahami sekaligus mengembangkan diri kita sendiri.     
    b. Pengertian kepribadian (personality) dari sudut terminologi
         Dewasa ini, banyak sekali pengertian terminologis mengenai kepribadian yang telah diusulkan orang. Namun, tidak ada satu pun yang benar-benar danggap sebagai definisi yang tuntas yang dapat diterima oleh semua pihak. Hal ini disebabkan karena kepribadian itu mengandung pengertian yang sangat kompleks. Kepribadian itu mencakup berbagai aspek dari sifat-sifat fisik maupun psikis dari setiap individu.
         Oleh karena itu, sukar bagi kita, dan juga bagi para ahli psikologi untuk merumuskan suatu definisi mengenai kepribadian seseorang ahli dalam mendefinisikan kepribadian akan sangat tergantung kepada pandangan teoritisnya, sebagaimana beberapa contoh berikut ini:
    1)      Ada beberapa definisi yang mememntingkan manusia sebagai makhluk biososial. Definisi semacam ini bertolak dari nilai rangsang sosial seseorang bagi orang lain. Jadi, titik tolaknya adalah apa dan bagaimana arti seseorang itu dalam pengamatan dan penghayatan orang lain. Karena itu, reaksi orang lainlah yang didefinisikan kepribadian seseorang. Seseorang dikatakan berkepribadian peramah, simpatik, luwes, anggun, atau membosankan bagi orang lain karena mereka diamati dan dihayati sedemikian itu.
    2)      Sejumlah definisi yang lain menekankan fungsi penyesuaian dan fungsi integratif individu. Beberapa definisi yang demikian itu berinti pada bagaimana individu itu menyesuaikan diri dalam (menghadapi) lingkungannya. Misalnya, ada individu yang dikatakan kaku, cekatan, cerdas karena dalam menghadapi lingkungan mereka menunjukkan kualitas atau kemampuan yang demikian itu.
    3)      Sekelompok definisi yang lain adalah definisi-definisi yang serba membuat. Definisi ini memuat segala hal yang relevan pada individu. Jadi, semacam segala sesuatu yang membedakan seseorang secara khas dari orang lain itu bermacam-macam sekali, seperti keadaan jasmani (Ananta-keriting, Ardhana-kidal), kegemaran (Brama-sate, Mantili-rujak), sifat-sifat psikologis tertentu (Pak Raden-pemarah, Bu Raden-sabar).
         Bagaimana rumusan definisi mengenai kepribadian tersebut diatas, pada intinya akan memuat hal-hal sebagai berikut:
    1)      Bahwa kepribadian itu merupakan sutu kebulatan yang terdiri dari aspek-aspek jasmaniah dan ruhaniah.
    2)      Bahwa kepribadian seseorang itu bersifat dinamik dalam hubungannya dengan lingkungan.
    3)      Bahwa kepribadian seseorang itu adalah khas (unique), berbeda dari orang lain.
    4)      Bahwa kepribadian itu berkembang dengan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam dan luar.
         Dan, definisi yang mendekati apa yang dikemukakan di atas itu adalah definisi yang dikemukakakan oleh Gordon W. Allpott, yang menyatakan
    Peraonality is the dynamic organization within the individual of those psychophysical system; that determines his unique adjusment to his environment” [Kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang memberikan corak yang khas dalam caranya menyesuaikan diri dengan lingkungan] (Gordon W. Allpott, 1960: 48).
         Dalam definisi tersebut, Allpott menggunakkan istilah sistem psikofisik untuk menunjukkan jiwa dan raga. Manusia adalah suatau sistem yang terpadu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain serta diantara keduanya selalu terjadi interaksi dalam mengarahkan tingkah laku dan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan. Sedangkan istilah khas dalam bahasa kepribadian Allport itu memiliki arti bahwa setiap individu memiliki kepribadiannya yang sama, dan kerana itu tidak ada dua orang yang bertingkah laku sama dalam penyesuaiannya dengan lingkungan.
    B.     BEBERAPA PENDEKATAN DALAM STUDI KEPRIBADIAN
           Cara-cara yang terbaik dalam mempelajari kepribadian adalah dengan melalui teori-teori atau konsep-konsep mengenai kepribadian, baik teori atau konsep yang disusun sendiri maupun oleh orang lain. Sampai dewasa ini, banyak sekali teori atau konsep mengenai kepribadian yang telah disusun oleh para ahli. Dan, untuk memahami dan mengambil intisari dari berbagai teori tersebut, digunakanlah berbagai cara penggolongan atas dasar pendekatan yang digunakan oelh penyusun teori.
           Terkait dengan itu, ada dua pendekatan yang digunakan (Sutoyo, 1981: 31), yaitu: 1) Pendekatan tipologi dan 2) Pendekatan penafsiran. Namun, disamping kedua pendekatan tersebut, terdapat satu pendekatan yang belum lama muncul tetapi menarik perhatian banyak orang, yaitu: 3) pendekatan faktorial.
           Dari beberapa pendekatan diatas ada yang telah disebutkan dalam pasal terdahulu, seperti tipologinya Kretschmer, Heymans, Spranger, Kunkel, C.G Jung. Sementara, bagaimana pola kerja dalam penyusunan dapat dijelaskan sebagai berikut:
    1) Pendekatan Tipologis
         Pola kerja dalam penyusunan teori yang menggunakan pendekatan tipoogi adalah berdasarkan pada sejumlah kecil kategori yang dapat membedakan ciri-ciri khas individu yang satu dengan individu yang lain dengan melakukan penggolongan (deskripsi) individu menjadi beberapa tipe. Kategori yang digunakan sebagai titik tolak penggolongan ke dalam tipe-tipe tertentu itu da bermacam-macam, antara lain: keadaan jasmani (teori Kretschmer, Shalden), tempramen (teori Heymans, Kant) dan sistem nilai-nilai (teori Spranger).
         Kelebihan pendekatan ini adalah bahwa teori-teori yang dihasilkan tampak sederhana, sehingga bagi orang awam akan mempunyai daya tarik yang kuat karena dianggap mempunyai nilai praktis yang tinggi. Kelemahannya, terutama dari segi teori, adalah bahwa pemasukan seseorang ke dalam suatu tipe tertentu mungkin menyebabkan sifat-sifat khas orang tersebut yang mungkin justru sangat relevan.


    2) Pendekatan Pensifatan
         Pola kerja dalam penyusunan teori-teori yang menggunakan pendekatan pensifatan ini adalah berdasarkan pada anggapan bahwa variabel yang dapat dipakai untuk menunjukkan ciri-ciri khas seseorang itu sangat banyak, sehingga orang berusaha membuat deskripsi selengkap mungkin mengenai seseorang , namun dalam praktiknya variabel-variabel itu tetap terbatas jumlahnya.
         Sebagian besar teori-teori psikologi kepribadian modern (terutama yang berkembang di Amerika dan daerah pengaruhnya) disusun atas dasar pendekatan pensifatan ini. Teori-teori yang termasuk golongan ini misalnya teori (Freud dengan segala modifikasinya, teori Jung, teori Allport, teori Murray).
         Kelebihan teori yang disusun atas dasar pendekatan pensifatan terletak dalam ketelitian dan kelengkapannya dalam membuat deskripsi mengenai kepribadian, sehingga lebih dapat memenuhi kebutuhan sebagai saran untuk memahami orang lain. Sementara kelemahannya, terletak pada sifatnya yang rumit dan sophiticated (canggih) sehingga tidak selalu mudah untuk dipahami.
    3) Pendekatan Faktorial
         Pola kerja dalam penyusunan teori yang menggunakkan pendekatan faktorial ini adalah pertama-tama dibuat hipotesis bahwa ada sejumlah faktor yang mendasari tingkah laku individu yang banyak macamnya. Lalu dibuat spesifikasi mengenai beberapa tingkah laku yang dianggap sebagai sampel berbagai tingkah laku yang merupakan pencerminan atau manifestasi faktor-faktor dasar kepribadian itu dan dilakukan pengukuran terhadap beberapa tingkah laku tersebut. Selanjutnya, dengan seuatu metode statistik yang disebut analisis faktor, ditentukan apakah memang benar faktor-faktor yang dihipotesiskn itu ada. Apabila ada, maka kemudian ditentukan bagaimana komposisi faktor-faktor itu pada individu.
         Perbedaan antara pendekatan faktorial dengan pendekatan tipologis dalam pensifatan adalah, bahwa pada susunan teori-teori yang digunakan dalam pendekatan tipologis dan pensifatan itu didasarkan atas pemikiran spekulatif dan penelitian empiris. Sedangkan teori yang disusun atas dasar pendekatan faktorial hnya mungkin disusun berdasarkan atas dat empiris.
         Adapun teori-teori yang termasuk golongan teori yang menggunakkan pendekatan faktorial tersebut antara lain teori Cattell, teori Guilford, teori Eysenck.
         Kelebihan teori ini yng disusun atas dasar analisis faktor tersebut ialah pada umumnya teori yang demikian itu mempunyai kecermatan yang tinggi, sehingga untuk kpentingan prediksi dan pengendalian sangat berguna. Disamping itu komunikasibilitasnya tinggi, karena segala berdasarkan pada data empiris. Sedngkan kelemahan teori ini adalah karen siftnya yang sophisticted, sehingga mudah dalam mengembangkan atau memahaminnya.
         Demikianlah uraian tentang berbagai pendekatan dalm mempelajari kepribadian, yang menggambarkan berupa kompleks dan rumitnya kepribadian manusia. Karena itu, tak heran jika tidak ada satu pun teori yang dapat menjelaskan kepribadian itu secara tuntas. Karena penelaah kepribadian melalui satu teori saja misalnya masih meninggalkan sisa yang belum terpahami, dan perlu diselesaikan dengan konsep dari teori lain, agar kelemahan sebuh teori tersebut dapat diimbangi dan diatasi oleh kebaikan teori yang lain.
    C.    STRUKTUR KEPRIBADIAN
           Ternyata para ahli psikologi masih belum puas dengan klasifikasi tipologi atau karakterologi yang telah diuraikan di muka. Karena itu, penyelidikan-penyelidikan atas kepribadian dengan pendekatan yang integratif dan dinamis terus dilakukan, antara lain: Sigmund Freud, Kurt Lewin, Gordon W. Allport, H.J. Eysenck.
           Para ahli tersebut melihat bahwa di samping struktur psikis yang bersifat tetap terdapat aspek-aspek yang bersifat dinamis, seperti daya penyesuaian terhadap lingkungan. Bilamana aspek dinamis ini tidak terlaksana dengan tepat dan benar, hal itu akan dapat menyebabkan perubahan-perubahan dan gangguan-gangguan pada diri individu, seperti neurosis dan psikosis.
           Berikut ini akan dijelaskan secara singkat pandangan dan pendapat para ahli di atas yang lebih cenderung menekankan kebulatan dari kepribadian itu.
    1. Struktur kepribadian menurut Sigmund Freud
         Freud, melalui psikoanalisisnya, memandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga unsur atau sistem, yaitu Id, Ego, dan Superego (Koeswata, 1986: 32). Ketiga sistem kepribadian tersebut masing-masing memiliki fungsi, kelengkapan, prinsip-prinsip operasi, dinamisme, dan mekanisme sendiri. Tetapi satu sama lain saling berkaitan dan membentuk suatu totalitas. Sedangkan tingkah laku manusia, menurut teori psikoanalisis, tidak lain merupakan produk interaksi antara Id, Ego dan Superego.
         Id (Das Es: Freund) adalah sumber segala naluri atau nafsu. Semuanya berada dalam alam ketidaksadaran (bawah sadar). Tujuannya adalah pemuasan jasmaniah. Karena itu Id ini lebih mengenal lust principle, prinsip kesenangan atau kepuasan. Bagi Id, hidup merupakan medan untuk memenuhi prinsip kepuasan, yaitu kearah pemuasan hasrat-hasrat biologis semata (libido sexualis). Karena ia tidak mengenal nilai, terutama nilai moral ia disebut immoral.
         Ego (Das Ich: Freud) ialah tempat di mana segala daya yang datang dari Id yang lust principle maupun superego yang merupakan sumber segala nilai (moral) dianalisis, dipertimbangkan untuk kemudian ditiadakan atau ditindakan. Ego merupakan pihak pengontrol agar keseimbangan pribadi seseorang tetap ada. Jadi, disini seseorang sadar terhadap kemauan-kemauan Id atau Superego. Sebagai pengontrol, maka ia tidak dapat tidak memerhatikan dan memperhitungkan realitas dunia luar (the reality principle).
         Sementara superego (das Iber Ich: Freud) adalah sumber segala nilai, termasuk nilai moral. Disini, sebagaimana Id, ia berada di alam bawah sadar. Hanya saja, ia lebih menuju ke arah prinsip kesempurnaan ruhaniah. Karenanya ia bersifat ideal.
         Dalam diri seseorang yang kepribadian sehat, ketiga sistem kepribadian tersebut bekerja secara harmonis. Artinya, Ego melaksanakan fungsinya secara adil, antara kepentingan Id yang lust principle dengan pertentangan-pertentangan akibat dorongan Id dan Superego, dan Ego tak mampu mengatasi, maka ia akan kehilangan keseimbangan, dan disitu akan hadir gejala-gejala abnormal.
         Sementara itu, baik Id, Ego maupun Superego, masing-masing mempunyai daya-daya pendorong yang disebut cathexis. Sedangkan Ego dan Superego, juga mempunyai daya penahan yang disebut anti-cathexis. Daya-daya ini dapat pula disebut sebagai kehendak. Kehendak inilah yang mula-mula menimbulkan kegoncangan-kegoncangan, ketegangan-ketegangan (tensions) dan konflik-konflik dalam pribadi, yang menjelma dalam bentuk pertentangan.
         Apabila kehendak itu muncul dari pihak Id, maka akan datang penekanan dari Ego dan Superego. Anti-cathexis yang datang dari Ego bertahap dua: Pertama, berupa penahanan sementara karena Ego perlu memperhatikan mungkin dan tidaknya kehendak direalisasikan dalam kenyataan dunia luar. Kedua pelaksanaan atau penggagalan terhadap cthexis Id. Sedangkan anti-cathexis Superego dilancarkan karena cathexis Id bertentangan dengan nilai-nilainnya (Mudlor Ahmad, t.t. : 44).
         Bila cathexis Id demikian kuat sehingga bisa menerobos pertahanan Ego dan Superego, maka yang tampak adalah perbuatan yang bersifat implusif. Begitupun sebaliknya, bila kehendak itu timbul dari Superego, akan terjadi hal yang serupa. Hanya saja, jika cathexis Superego bisa mengalahkan rintangan-rintangan di depannya, maka tingkah lakunya akan bersifat idealistis.
         Jika kehendak datang dari Ego, maka hal ini disebabkan oleh adanya rangsangan dari dunia luar yang dapat ditangkap oleh pancaindra dan diteruskan ke pusat kesadaran. Apa yang ditangkap oleh Ego, akan menimbulkan getaran-getaran pada Id dan Superego. Di sinilah cathexis Ego akan menghadapi kemungkinan-kemungkinan seperti di atas.
         Dengan demikian, semisal cathexis  dan anti-cathexis tersebut tidak ada, maka ketiga sistem kepribadian itu hanyalah nama-nama yang tidak berarti. Jadi, sehubungn dengan tindakan atau tingkah laku, maka tidak mungkin seseorang melakukan suatu perbuatan (implusif atau etis) bila saja kemauan atau kehendak tersebut tidak ada padanya.
         Maka di atas segalanya, kemauanlah sebenarnya yang menjadi titik bermulanya segala tindakan lahir. Selama kemauan atau keinginan berada di titik Id dan Superego, maka ia masih dikatakan sebagai kemauan bawah sadar. Bila kemauan ini bergerak masuk ke dalam Ego dan itu disadari, maka kemauan itu akan disebut dengan angan-angan, cita-cita, atau pikiran. Akan tetapi, bila kemauan itu telah bergerak masuk ke dalam Ego  seseorang dan itu disadari dan tetap hanya sebagai keinginan saja, tidak dilaksanakan, maka bagianmanakah nasib yang demikian?
         Menurut hukum daya pertahanan tenaga atau hukum kekekalan tenaga, mustahil tenaga-tenaga lenyap begitu saja tanpa bekas dan tanpa berubah bentuk. Kemauan yang tak terlaksana tadi tidak menetap dalam ruang Ego (otak), tapi akan tertimbun di situ bersama keinginan atau kemauan yang belum sempat dilaksanakan. Hal ini memang sangat membahayakan otak, dan sewaktu-waktu bisa meledak. Untuk itu, kemauan atau tenaga-tenaga yang tak terlaksana tadi harus keluar dari otak. Di saat tenaga-tenaga itu keluar dari otak, ia akan memberi suatu tanda sebagaimana tanda ketika tenaga listrik memisahkan diri dari awan yang berupa kilat dan gemuruh (Paryana, 1963: 54).
         Setelah kemauan yang tak terpenuhi di atas keluar dari otak lalu tersebar ke seluruh saraf dalam tubuh, ia akan mengendap di sana. Tenaga-tenaga yang tak tersalurkan itu sewktu-waktu bisa muncul, yaitu pada saat tidur dan dalam bentuk mimpi buruk (Calvin S. Hall, 1962: 76).
         Adapun tanda yang diisyaratkan oleh tenaga-tenag tak terpenuhi adalah rasa kurang atau tidak puas, sesal. Keadaan seperti ini disebut frustasi. Meskipun begitu, kemauan yang gagal ini pun tidak dapat dikatakan tidak berani sama sekali, sebab di balik ini terdapat faedah-faedah yang lebih berharga; ia akan menjadi anasir-anasir yang menumpuk ruhani dan kepribadian manusia.
         Dengan memerhatikan uraian diatas, terbayang dalam pikiran kita beberapa jelas dan mudahnya kedudukan maupun proses kerja sama dari ketiga sistem kepribadian di atas. Seolah-olah Id berada pada satu tempat yang terkhusus sehingga kita bisa menelaah satu per satu, demikian pula dengan sistem yang lain. Begitu juga mengenai kerja timbal balik, begitu gamblang menyakinkan diri kita bahwa tingkah laku tertentu mulanya berasal dari Id, Ego, dan Superego.
         Namun kenyataannya justru sebaliknya, proses kerja sama ketiga sistem tersebut demikian rumit dan kompleks sehingga takmungkin orang bisa menarik suatu pendapat bahwa seuatu tindakan tertentu mulanya adalah murni disebabkan oleh salah satu dari ketiga sistem kepribadian tersebut. Ketiga sistem kepribadian itu tidak lebih hanya merupakan faal kejiwaan manusia belaka.
         Uraian di atas menunjukkan betapa alam bawah sadar jatuh lebih besar dan luas dibandingkan dengan alam sedar. Oleh karenanya, Freud menumpamakan kejiwaan manusia seperti halnya gunung es di daerah kutub; bagian yang tampak jauh lebih sedikit atau kecil dibanding dengan bagian yang terendam air (lautan).
    2. Struktur kepribadian menurut Kurt Lewin
         Kurt Lewin medsarkan eksperimen dan penyelidikannya pada suatu asas dalam psikologi gestalt, yang berbunyi, suatu gestlat dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang bagian-bagiannya berhubungan satu sama lain sedemikian dinamis sehingga perubahan pada suatu bagian mengakibatkan perubahan pada bagian-bagian lain (F. Patty, 1982: 190).
         Adapun pokok-pokok pikiran Lewin dalam Teori Struktur Gesalt Kepribadian dengan Typological Giagram-nya (F. Patty, 1982: 190), antara lain:
    a.       Kepribadian manusia itu berkembang baik dalam tingkat kematangan psikologis maupun strukturnya. Pada anak-anak struktur jiwa terdiri atas bagian-bagian (region) itu belum teridentifikasi. Sedangkan makin dewasa seseorang makin kompleks dan matanglah fungsi bagian-bagian tiu.
    b.      Pada orang dewasa, bagian-bagian mulai mengalami diferensiasasi tertentu. Tiap bagian dibatasi oleh barriers, yaitu batas-batas bagian yang satu dengan yang lain. Tiap-tiap bagian tertentu mempunyai  fungsi tertentu pula.
    c.       Teori kepribadian Lewin ini dinamakan Dynamic Theory of Personality, karena aspek dinamis dari perkembangan dalam pribadi yang disebebabkan oleh faktor waktu dan lingkungan. Dinamika kepribadian itu dapat mempunyai arah progresif dan mungkin pula regresif. Menurut Lewin, kepribadian dapat dilukiskan sebagai suatu susunan lapisan-lapisan yang mempunyai struktur tertentu dengan bagian-bagian yang terpisah dan dapat dibedakan tetapi saling tergantung satu sama lainnya. Kepribadian adalah suatu gestalt, yang mempunyai kesatuan yang lebih besar atau lebih kecil tergantung pada kodrat individu dan lingkungannya.
    d.      Teori Lewin ini disebut juga field theory, karena teori ini berusaha untuk menjelaskan kepribadian atau gejala-gejala psikologis dalam kaitannya dengan keseluruhan situasi lingkungan di mana pribadi dalam waktu tertentu itu berada. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa field theory tentang kepribadian ini memandang lingkungan dan struktur tingkah laku individu.
    3. Struktur kepribadian menurut Gordon W. Allport
         Bagi Allport, struktur dan dinamika kepribadian itu pada umumnya satu dan sama (Sukanto, 1985: 146), yang tekanan utamanya diletakkan pada tiga hal, yaitu: 1) traits (sifat), yaitu tendensi determinasi dan pre-disposisi, 2) attitute (sikap), yaitu respon yang berhubungan dengan suatu objek, dan 3) intentions (intensi), yaitu harapan, keinginan, ambisi, dan cita-cita seseorang.
         Istilah traits (sifat) dalam terminologi psikologi berarti ciri-ciri tingkah laku yang tetap (atau hampir tetap) pada individu seperti Musailamah pembohong, Betaria penangis (cengeng). Semua awalan pe- pada kata pembohong, penangis, pemarah itu sering muncul sehingga menjadi suatu ciri khs tingkah laku seseorang.
         Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan tersebut merupakan sifat-sifat yang khas pada orang bersangkutan. Namun perlu diingat, bahwa untuk menentukan adanya sifat-sifat tertentu pada seorang itu tidaklah mudah, dan diperlukan waktu dan proses pergulan yang lama. Di samping juga pengetahuan psikologi sebagai dasarnya. Tergesa-gesa menyangka adanya sifat-sifat tertentu pada diri seorang adalah suatu perbuatan yang ceroboh dan sering kali menimbulkan salah terka. 
         Terkait dengan hubungan sifat (traits) dengan objek (personality) tersebut, Allport mengemukakan, traits are dynamic and flexible dispositions, resulting, at least in part, from the intergration of adaptation to one’s surrounding (Gordon W. Allport, 1960: 190).
         Istilah disposisi dalam batasan ini berarti suatu unsur dengan objek yang mencerminkan kecenderungan-kecenderungan masa lalu atau pengalaman-pengalaman yang telah lampau (in the past time).
         Sesuai dengan batasan tersebut, dapat juga dikatakan bahwa tingkah laku seseorang yang merupakan sifat itu lebih diatur atau dipengaruhi oleh faktor dari dalam (endogen) individu itu sendiri, dan relatif bebas dari pengaruh-pengaruh lingkungan luar (exogen).
         Dengan kata lain, sifat merupakan ciri-ciri tingkah laku yang banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor dari dalam setiap individu seperti pembawaan, minat, konstitusi tubuh dan cenderung bersifat stabil (tetap). Selain itu, juga perlu diketahui bahwa dalam setiap individu terdpat beberapa macam sifat yang saling berhubungan satu sama lain dan kesemuanya merupakan pola tingkah laku yang menentukan bagaimana watak atau karakter orang itu.
         Istilah sikap dalam pergaulan sehari-hari sering kali digunakan dalam arti yang kurang tepaat atau salah kaprah. Misalnya, adik saya bernama Zulfikar diterima masuk AKABRI, karena sikap badanya yang tegap. Si Diran sikapnya lemah/keras. Seorang siswa dihukum oleh gurunya karena bersikap kurang ajar atau nakal.
         Penggunaan istilah sikap diatas dapt mengaburkan arti yang sebenarnya. Karena pada hakikatnya, sikap (attitude) merupakan suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang. Suatu kecenderungan untuk bereaksi dengan cara tertentu terhadap suatu perangsang atau situasi yang dihadapi. Misalnya, Pak Raden selalu marah-marah jika melihat halaman rumahnya kotor. Pak Ogah bersikap acuh tak acuh terhadap persoalan yang menyangkut keluarganya. Bu Fatonah tidak suka melamun lagi setelah suaminya pulang ke rumah.
         Dari contoh-contoh tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah suatu tingkah laku sebagai reaksi (respons) terhadap suatu perangsang (stimulus) yang disertai dengan pendirian atau perasaan yang bersangkutan. Menurut Robert S. Ellis.
         “Attitude involve some knowledge of situation. However the essential aspect of the attittude is found in the fact that some characteristic feeling or emotion is exsperienced, and as we would accordingly expect, some definite tendency to actions is associated”.
         Dengan deikian, menurut Ellis yang sangat menentukan dalam sikap ialah faktor perasaan (emosi) dan juga faktor reaksi atau kecenderungan untuk bereaksi (merespon) dalam beberapa hal. Sikap merupakan penentu yang penting dalam tingkah laku manusia. Sebagai reaksi, sikap selalu berhubungan dengan dua hal, yaitu senang dan tidak senang, kemudian melaksanakan atau menghadiri sesuatu.
         Masing-masing individu mempunyai sikap berbeda-beda terhadap suatu perangsang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang ada pada individu tersebut, seperti perbedaan dalam bakat, minat, pengalaman, pengetahuan, intensitas perasaan, dan juga situasi lingkungan. Demikian pula sikap individu terhadap suatu perangsang yang sama, tak selalu sama.
         Bagaimana sikap seseorang terhadap berbagai hal di dalam hidupnya adalah termasuk dalam lingkungan kepribadiannya. Di dalam kehidupan manusia, sikap selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Dari situlah peranan pendidikan dalam pembentukan sikap pada anak didik menjadi sangat penting dan strategis. Dalam hal ini, beberapa faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan sikap anak didik yang perlu diperhatikan adalah kematangan, keadaan fisik anak, pengaruh keluarga, lingkungan sosial, limgkungan sekolah, budaya baik lokal atau asing, guru dan metode atau cara guru dalam mengajar serta kurikulum yang diberlakukan.
         Adapun yang termasuk intensi adalah seperti harapan, keinginan, ambisi, dan cita-cita seseorang. Semuanya ini turut serta dalam mempengaruhi sikap, pendapat, dan pandangan seseorang. Yang selanjutnya tercermin dalam cara-cara seseorang bertindak dan bertingkah laku.
         Dengan demikian, tidak bisa disangsikan lagi bahwa peranan dari harapan, ambisi, cita-cita, dan semacamnya itu sangat menentukan kepribadian seseorang. Seseorang yang mempunyai harapan, keinginan, cita-cita, atau berambisi menjadi dokter, sudah tentu akan berlain sikap dan tindakannya dengan seseorang yang berkehendak menjadi ulama misalnya. Demikian pula seseorang yang bercita-cita menjadi seorang pendidik (guru, dosen), tentu tidakan dan perilakunya tidak akan sama dengan seseorang yang bercita-cita dan berambisi menjadi tentara.

    4. Struktur kepribadian menurut H. J. Eysenck
         Menurut Eysenck, struktur kepribadian itu terbentuk dari tindakan-tindakan dan disposisi-disposisi yang terorgnisasi dalam susunan hierarkis berdasarkan atas kemauan dan kepentingannya. Jika diurut dari yang paling bawah hingga yang paling tinggi (Sukanto, 1985: 147), susunan hierakisnya adalah sebagai berikut:
    a.       Specific respons, yaitu suatu tindakan atau respons yang terjadi pada keadaan atau kejadian tertentu, jadi khusus sekali.
    b.      Habitual respons, yang mempunyai corak yang lebih umum dari pada spesific respons, yakni respon-respon yang berulang-ulang terjadi kalau individu menghadapi kondisi atau situasi yang sejenis.
    c.       Traits, yaitu sementara habitual respons saling berhubungan satu sama lain, yang cenderung ada pada individu tertentu.
    d.      Type, yaitu organisasi di dalam individu yang lebih umum, lebih mencakup lagi.
         Begitulah uraian singkat yang berkaitan dengan berbagai pendapat dan teori para ahli tentang kepribadian. Dari uraian di atas dapat diambil konklusi bahwa sejarah penyelidikan kepribadian cukup panjang, begitupun dengan teori tentang kepribadian, bervariasi dan berbeda-beda. Namun, jika hasrat kita untuk mengerti diri kita hanya melalui psikologi saja, maka kita akan menghadapi berbagai kesukaran. Untuk itu, selain kita memperkaya teori-teori psikologi mengenai kepribadian manusia itu, kita juga peru melengkapinya dengan pengetahuan lain semisal agama dan filsafat.
         Pengertian pribadi terhadap dirinya dan pengertian pribadi atas pribadi yang lain tidak saja memiliki manfaat yang besar secara teoritis. Self confident dan self respect akan terwujud dalam kehidupan pribadi bilamana manusia mengerti martabat dirinya sebagai subjek yang mempunyai status unik di alam semesta ini. Yaitu sebagai khalifatullah fi al-ardh, yang diberi pengetahuan untuk mengendalikan dunia dengan segala isinya.
         Kesadaran manusia akan status dan martabatnya sebagai khalifah Allah dan sebagai human dignity yang mengemban dimensi psycho-phisis dan moralitas secara integral adalah termasuk syarat-syarat minimal untuk mengerti hakikat manusia dan hakikat kepribadian manusia.


    D.    FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPRIBADIAN
           Secara umum dapat dikemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian itu dapat diperinci menjadi tiga golongan besar (Ngalim Purwanto, 1984: 163), yaitu: 1) faktor biologis, 2) faktor sosial, 3) faktor kebudayaan.
    1. Faktor Biologis
         Faktor ini berhubungn dengaan keadaan jasmani, dan sering pula disebut faktor fisiologis. Faktor ini telah disinggung dalam bahasan masalah tempramen, dan disebutkan bahwa konstitusi tubuh itu meliputi pencernaan, peredaran darah, kelenjar-kelenjar, urat saraf.
         Setiap individu sejak dilahirkan telah menunjukkan adanya perbedaan dalam konstitusi tubuhnya, baik dari keturunan atau pembawaan individu (anak) itu sendiri. Kondisi jasmani yang berbeda-beda itu menyebabkan sikap dan sifat-sifat serta tempramen yang berbeda-beda juga.
         Yang jelas, konstutusi tubuh individu itu sangat mempengaruhi kepribadian individu. Namun dalam perkembangan dan pembentukan kepribadian selanjutnya, faktor-faktor lain seperti lingkungan dan pendidikan tidak dapat dipungkiri peranan dan pengaruhnya.
    2. Faktor Sosial
         Faktor sosial yang dimaksud di sini adalah di sekitar individu yang mempengaruhi individu tersebut. Yang termasuk dalam faktor sosial ini adalah tradisi-tradisi, adat istiadat, dan peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat.
         Dalam perkembangan individu (anak) pada masa bayi dan kanak-kanak, peranan keluarga (ayah dan ibu) sangat menenukan bagi kepribadian individu itu selanjutnya. Begitu pula kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam keluarga. Keadaan dan suasana keluarga yang berbeda juga memberi pengaruh yang cukup menentukan terhadap perkembangan kepribadian individu. Keluarga yang berpendidikan berbeda pengaruhnya dengan kelurga yang kurang atau malah tidak berpendidikan. Suasana keluarga yang selalu diliput ketentraman berbeda pengaruhnya dengan suasana keluarga yang selalu diliputi kericuhan (permusuhan) di dalamnya.
         Keluarga yang masih utuh (ada ayah dan ibu) akan lain suasananya dengan keluarga yang tidak utuh, seperti ayah yang sudah meninggal, ibu ada tetapi sudah cerai dengan ayah, sehingga anak dalam keluarga dengan ibu tiri atau ayah tiri. Suasana keluarga demikian dalam banyak kasus telah menjadi masalah tersendiri dalam perkembangan individu.
         Memang pengaruh lingkungan keluarga terhadap perkembangan anak sejak kecil sangat sangat mendalam dan menentukkan perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Hal ini disebabkan karena (Ahmad Musa, 1969: 94):
    a. Pengaruh itu merupakan pengalaman yang pertama-tama.
    b. Pengaruh yang diterima anak itu masih terbatas jumlah dan luasnya.
    c. Intensitas pengaruh itu tinggi karena berlangsung terus-menerus siang dan malam.
    d. Umumnya pengaruh itu diterima dalam suasana aman dan sifat intim dan bernada emosional.
         Pada masa selanjutnya, pengaruh lingkungan sosial yang diterima anak semakin besar dan luas, mulai dari lingkungan keluarga meluas pada anggota-anggota keluarga yang lain, teman-teman yang datang ke rumahnya, teman-teman sepermainan, tetangga-tetangganya, lingkungan desa-kota, hingga pengaruh yang khusus dari lingkungan sekolahnya mulai dari guru-gurunya, teman-temannya, kurikulum sekolah, peraturan-peraturan yang berlaku di sekolah.
         Demikianlah pengaruh faktor sosial terhadap perkembangan dan pertumbuhan kepribadian yang diterima oleh individu (manusia) dalam hidup dan kehidupannya sehari-hari, sejak kecil sampai dewasa.
    3. Faktor Kebudayaan
         Faktor kebudayaan yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebenarnya faktor kebudayaan ini sudah termsuk dalam faktor-faktor sosial seperti yang telah diuraikan di atas. Namun disini kita hendak membicarakan kebudayaan dalam scope yang lebih luas, lengkap dengan aspek-aspeknya.
         Sebagaimana dimaklumi bahwa perkembangan dan pembentukan kepribadian pada masing-masing individu tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat di mana individu itu berada dan dibesarkan. Sering dikatakan bahwa kebudayaan orang Barat berbeda dengan kebudayaan orang Timur. Di negara kita sendiri, misalnya: dapat diketahui di mana kehidupan masyarakat di pedalaman Irian Barat berbeda dengan kehidupan masyarakat Indonesia lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa cara-cara hidup, adat istiadat, kebiasaan, bahasa, kepercayaan suatu daerah atau negara masyarakat tertentu. Berbeda dengan daerah atau negara dan masyarakat lain.
         Adapun beberapa aspek kebudayaan yang sangat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan kepribadian itu, antara lain:
    a. Nilai-niali (values)
         Pada setiap kebudayaan terdapat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh individu yang hidup dalam kebudayaan itu. Menaati nilai-niali yang hidup dalam kebudayaan itu menjadi idaman dan kewajiban bagi setiap anggota masyarakat kebudayaan tersebut. Dan untuk bisa diterima sebagai anggota suatu masyarakat, maka seseorang harus memiliki kepribadian yang selaras dengan kebudayaan yang berlaku pada suatu masyarakat tertentu.
         Sementra itu, nilai-nilai hidup yang berlaku dalam masyarakat sangat erat hubungannya dengan kepercayaan, agama, adat istiadat, kebiasaan, dan tradisi yang dianut oleh masyarkat yang bersangkutan. Di samping itu, lingkungan masyarakat itu sendiri seperti masyarakat desa, masyarakat kota, pulau-pulau terpencil sama sekali tidak dapat disangsikan peranannya dalam membentuk kepribadian seseorang individu.
    b. Pengetahuan dan Ketrampilan
         Pengetahuan yang dimiliki oleh setiap individu juga mempengaruhi sikap dan tindakannya. Sedang pengetahuan yang dimiliki oleh individu tidaklah sama kadar tinggi dan luasnya antara individu yang satu dengan yang lainnya. Begitu pula jenis pengetahuan yang dimilikinya tidaklah sama. Ada yang ahli di bidang ekonomi, di bidang kedokteran, di bidang teknik, di bidang pertanian/peternakan. Semuanya ini membentuk kepribadian yang berbeda-beda pada setiap individu.
         Demikian pula kecakapan atau ketrampilan individu dalam mengerjakan sesuatu yang juga merupakan bagian dari kebudayaannya. Perbedaan-perbedaan ketrampilan tersebut dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti ada orang yang ahli atau mempunyai kecakapan dalam berpidato dengan agitasi yang menarik (orator), ada yang cakap mengendarai mobil, ada yang mempunyai kecakapan dan ketrampilan yang mengagumkan dalam bidang ukiran, musik.
         Bahkan, ada yang memiliki ketrampilan dalam membuat dan merencanakan metode kapal terbang, roket. Tinggi rendahnya kadar ilmu seseorang mencerminkan tinggi rendahnya kebudayaan masyarakat itu. Semakin tinggi kebudayaan suatu masyarakat, semakin maju pula sikap hidup cara-cara kehidupan manusia.
    c. Adat dan Tradisi
         Sebagaiman dimaklumi bahwa adat istiadat (tradisi) suatu daerah dengan daerah lainnya. Perbedaan-perbedaan ini meliputi berbagai masalah. Dalam hal perkawinan, model rumah, upacara agama, kepercayaan. Hampir setiap daerah memiliki karakteristik sendiri-sendiri.
         Adat istiadat Minangkabau berbeda dengan adat istiadat Batak, meskipun daerahnya berdekatan. Tradisi yang berlaku di Aceh jauh berbeda dengan tradisi yang hidup dan berkembang di Jawa Tengah. Semua adat dan tradisi yang berlaku di suatu daerah tersebut, selain menentukan nilai-nilai yang harus ditaati oleh anggota-anggotanya, juga menentukan cara-cara bertindak dan bertingkah laku manusia-manusiannya.
    d. Bahasa
         Bahasa merupakan salah satu faktor yang ikut serta menentukan karkteristik suatu kebudayaan. Bahasa mempunyai hubungan yang erat dengan kepribadian manusia yang menggunakan dan memiliki bahasa itu. Bahasa juga berfungsi sebagai alat komunikasi antarindividu.
         Kata-kata yang tertera dalam kalimat bahasa mencerminkan kepribadian bangsa, adalah tepat dan mengandung kebenaran yang dapat diterima. Seperti perbedaan sikap dan cara hidup di daerah Jawa Timur sering menggunakan bahasa Indonesia, sikap dan gaya hidupnya berbeda dengan orang yang biasa menggunakan bahasa Inggris.
         Selain itu, di dunia mana pun dapat dijumpai suatu fakta bahwa bahasa berkembang sejajar dengan kemajuan dan perkembangan kebudayaan masyarakat pemakainya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa bahasa merupakan faktor kebudayaan yang sangat penting dalam mempengaruhi dan bahkan menentukan kepribadian setiap individu.
         Uraian tadi telah menunjukkan betapa erat hubungan antara kepribadian dengan kebudayaan, di mana kepribadian seseorang tidak dapat dinilai tanpa menyelidiki latar belakang kebudayaannya. Demikian pula sebaliknya, pengaruh suatu kebudayaan terhadap pembentukan kepribadian adalah sangat besar.
         Akhirnya, berbahagialah orang-orang yang mampu mengerti diri sendiri, dan dapat mengerti orang lain. Dan, akan lebih berbahagia lagi orang yang mengerti dan menghargai orang lain.[1]
    BAB III
    PENUTUP
    KESIMPULAN
    Para ahli psikologi pada umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kepribadian itu bukan hanya mengenai tingkah laku yang dapat diamati saja, melainkan juga termasuk didalamnya apakah sebenarnya individu itu. Oleh karena itu sebelum diuraikan terlebih dahulu beberaapa pengertian yang sangat erat hubungannya dengan masalah kepribadian seperti individualitas (individuality), tempramen, dan karakter.
    mempelajari kepribadian adalah dengan melalui teori-teori atau konsep-konsep mengenai kepribadian, baik teori atau konsep yang disusun sendiri maupun oleh orang lain. Sampai dewasa ini, banyak sekali teori atau konsep mengenai kepribadian yang telah disusun oleh para ahli. Dan, untuk memahami dan mengambil intisari dari berbagai teori tersebut, digunakanlah berbagai cara penggolongan atas dasar pendekatan yang digunakan oelh penyusun teori.
           Terkait dengan itu, ada dua pendekatan yang digunakan (Sutoyo, 1981: 31), yaitu: 1) Pendekatan tipologi dan 2) Pendekatan penafsiran. Namun, disamping kedua pendekatan tersebut, terdapat satu pendekatan yang belum lama muncul tetapi menarik perhatian banyak orang, yaitu: 3) pendekatan faktorial.
    Para ahli psikologi masih belum puas dengan klasifikasi tipologi atau karakterologi yang telah diuraikan di muka. Karena itu, penyelidikan-penyelidikan atas kepribadian dengan pendekatan yang integratif dan dinamis terus dilakukan, antara lain: Sigmund Freud, Kurt Lewin, Gordon W. Allport, H.J. Eysenck.
           Para ahli tersebut melihat bahwa di samping struktur psikis yang bersifat tetap terdapat aspek-aspek yang bersifat dinamis, seperti daya penyesuaian terhadap lingkungan. Bilamana aspek dinamis ini tidak terlaksana dengan tepat dan benar, hal itu akan dapat menyebabkan perubahan-perubahan dan gangguan-gangguan pada diri individu, seperti neurosis dan psikosis.



    SARAN
    Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber – sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan, sekiranya penulis belum bisa melengkapi dengan sempurna maka kita membutuhkan kritik dan masukan padad teman-teman seklaina untuk terciptanya kesempurnaan sesuai yang kita harapkan, semoga apayang kita tulis bisa memberikan manfaat kepada penulis khususnya dan kepada para pembaca umumnya.












    DAFTAR PUSTAKA

    Baharuddin.2007. Psikologi Belajar. Jogyakarta: AR-RUZZ Media Group




    [1] Baharuddin, Psikologi Pendidikan, (Jogjakarta: AR-RUZZ Media Group, 2007), hlm. 191-229

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Art Education. Diberdayakan oleh Blogger.

Postingan Populer