• Ajaran Tasawuf Menurut (Abu Yazid Al Bustami)

    BAB I
    PENDAHULUAN

    A.  Latar Belakang
    Dalam ajaran agama islam, terdapat beberapa disiplin ilmu untuk menunjang umat manusia dalam melaksanakan ajaran keagamaan tersebut. Salah satunya adalah ilmu tasawuf. Ilmu tasawuf bisa dikatakan ilmu yang paling tinggi dalam agama islam atau puncak dari ilmu-ilmu yang lain. Hal tersebut cukup beralasan dikarenakan dalam ilmu tasawuf segala sesuatunya berkaitan dengan hati dan perasaan manusia dan hati tersebut adalah satu objek yang dilihat oleh Allah SWT dari setiap hamba-Nya. Maka dari itu, setiap hati manusia harus bersih dan suci dari segala penyakit serta kotoran hati. Karena hati lah yang menentukan pribadi manusia itu sendiri. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya bermpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh tubuh itu. Ketahuilah segumpal daging itu adalah al qolbu (hati).

    Ikuti Kami...!!! 

    https://strukturmanagemen.blogspot.com


    Tasawuf merupakan suatu disiplin ilmu yang berorientasi pada moralitas berasas keislaman. Tasawuf bertujuan untuk lebih mendekatkan seorang hamba dengan Tuhannya melalui bersihnya hati. Pembahasan mengenai Tasawuf dan konsep ilmunya tidak akan lepas dari tokoh-tokoh yang ada didalamnya dan mempengaruhi perkembangannya. Tokoh-tokoh sufi tersebut biasanya identik dengan kehidupan yang sederhana dan hanya ditujukan untuk Allah. Kehidupan sufi sendiri sudah ada sejak zaman para sahabat nabi yang mencontoh kehidupan beliau seperti Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khatab dan sebagainya.
    Dalam perkembangannya, para tokoh sufi tersebut memilki pandangan dan pemahaman yang berbeda-beda, seperti Al A’raby, Rabi’ah Al-Adawiyah, Al-Ghazali, Ibnu ‘Athoillah As Sakandari, Imam Junaid Al Baghdadi dan lain sebagainya. Dalam makalah ini penulis akan memaparkan pimikiran salah satu tokoh sufi fenomenal yaitu “Abu Yazid Al Bustami” yang sering disebut sebagai sufi mistik atau raja para mistikus. Beliau dikenal demikian karena apa yang melekat pada dirinya tidak mampu difikirkan atau dinalar oleh manusia pada umumnya.
    B.     Rumusan Masalah
    Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka satu hal yang akan diuraikan dan dibahas dalam penulisan ini adalah :
    1.      Bagaimana ajaran corak pemikiran Tasawuf Abu Yazid Al Bustami?

    C.    Tujuan Penulisan
    1.      Untuk menjelaskan tentang ajaran dan corak pemikiran Tasawuf Abu Yazid al Bustami.








    BAB II
    PEMBAHASAN

    A.    Ajaran Tasawuf Abu Yazid Al Bustami
    Ada tiga hal yang menjadi ajaran dan corak pemikiran Imam Abu Yazid Al Busthomi dalam kajian ilmu tasawuf adalah fana’ dan baqa’, dan ittihad. Penjelasan dari dua hal tersebut adalah sebagai berikut.
           I.            Fana’
    Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf,  fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar Al-Khalabadzi mendefinisikan, “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu”.
    Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah SWT, seperti tampak dalam ceritanya.“Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, maka aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya. Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan, kata-Nya. ‘Engkaulah yang aku inginkan,’ jawabku, ‘Karena Engkau lebih utama daripada anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu’...”
    Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (nafsu) mu dan kemarilah.” Abu Yazid pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya:
    أَعْرِفُهُ حَتَّى فَنَيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
    Artinya:
    “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup.”
        II.            Baqa’
    Adapun baqa’, berasal dari kata baqiya, dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf, baqa’ berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah SWT. Paham baqa’ tidap dapat dipisahkan dengan paham fana’.  Keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.
    Dalam menerangkan kaitan antara fana’ dan baqa’, Al-Qusyairi mengatakan, “Barang siapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, ia sedang  fana’ dari syahwatnya. Tatkala fana’ dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan ibadah;... barang siapa yang hatinya zuhud dari keduniaan, ia sedang  fana’ dari keinginannya, berarti pula sedang baqa’ dalam ketulusan inabahnya...”
     III.            Ittihad
    Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’. Akan tetapi, dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan. Apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dipraktikkan masih perlu pembahasan, dan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk dianalisis lebih lanjut.
    Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam paparan Harun Nasution, ittihad adalah satu tingkatan seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, satu tingkatan ketika yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku”. Harun menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai, atau tegasnya antara sufi dan Tuhan. Dalam ittihad, “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu.” Sufi yang bersangkutan karena fana’-nya tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
    Dengan fana’-nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan. Ia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari syatahat yang diucapkannya. Syatahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada dipintu gerbang ittihad. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Yazid, umpamanya:
    لَسْتُ أَتَعَجَّبُ مِنْ حُبِّيْ لَكَ فَأَ نَا عَبْدُ فَقِيْرُ وَلَكِنِّيْ أَتَعَجَّبُ مِنْ حُبِّكَ لِيْ وَأَنْثَ مَلِكُ قَدِيْرٌ
    Artinya:
    “Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa.”
                Tatkala berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata:
    قَالَ : يَاأَبَايَزِيْدَ إِنَّهُمْ كُلُّهُمْ خَلْقِي غَيْرَكَ. فَقُلْتُ: فَأَنْتَ أَنَا وَأَنَاأَنْت
    Artinya:
    “Tuhan berkata, ‘semua mereka –kecuali engkau- adalah makhluk.’ Aku pun berkata, ‘Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau’.”
                Selanjutnya Abu Yazid berkata lagi:
    فَانْقَطَعَ الْمُنَاجَةُ فَصَارَ الْكَلِمَةُ وَاحِدَةً وَصَارَالْكُلُّ بِالْكُلِّ وَاحِدًا. فَقَالَ لِيْ: يَاأَنْتَ, فَقُلتُ بِهِ: يَاأَنَا, قَالَلِيْ: أَنْتَ الْفَرْدُ. قَالَ لِيْ: أَنْتَ أَنْتَ, قُلْتُ: أَنَا أَنَا.  
    Artinya:
    “Konversasi pun terputus; kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun berkata, ‘Hai engkau.’ Aku pun-dengan perantaraan-Nya menjawab, ‘Hai Aku.’ Ia berkata, ‘Engkaulah yang satu.’ Aku menjawab, ‘Akulah yang satu.’ Ia berkata lagi, ‘Engkau adalah Engkau.’ Aku balik menjawab, ‘Aku adalah Aku’.”
                Setelah sholat subuh, Abu Yazid pernah berucap:
    إِنِّي أَنَا اللهُ لَاإِلَهَ اِلَا أَنَا فَا عْبُدْ نِيْ
    Artinya:
    “Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”
                Suatu ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “siapa yang engkau cari?” orang itu menjawab, “Abu Yazid.” Abu Yazid berkata, “Pergilah, dirumah ini tidak ada Abu Yazid, kecuali Allah yang Maha Kuasa, Maha Tinggi.” Ucapan-ucapan Abu Yazid kalau didengar secara sepintas memberikan kesan bahwa ia sudah syirik kepada Allah SWT. Oleh karena itu, dalam sejarah para sufi, ada yang ditangkap dan dipenjarakan disebabkan ucapannya yang membingungkan golongan awam.


















    BAB III
    PENUTUP

    A.  Kesimpulan
    Corak pemikiran atau ajaran yang dihasilkan dan yang dilaksanakan oleh salah seorang sufi yang bernama Imam Abu Yazid Al Busthomi terbagi menjadi tiga hal, yaitu fana’, baqa’, dan ittihad. Ketiga hal tersebut saling berkaitan dan berkesinambungan dengan bertujuan yaitu sama-sama sebagai jalan dalam mendekat kepada Allah SWT.
    Jika fana’ itu mendekat kepada Allah SWT dengan cara meninggalkan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan Allah SWT, maka baqa’ adalah tahapan selanjutnya dan sangat berkaitan dengan fana’ itu sendiri, yaitu tetap dan selalu memuji sifat-sifat Allah SWT. Tahapan yang terakhir adalah ittihad, yang merupakan tahapan yang paling tinggi. Karena, dalam tahapan ini seorang hamba sudah dapat dikatakan bersatu dengan Tuhannya. Baik dari substansinya atau dari perbuatannya.











    DAFTAR PUSTAKA


    Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung : CV PUSTAKA SETIA.
  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Art Education. Diberdayakan oleh Blogger.

Postingan Populer