• MASALAH PELANGGARAN (HAM) PEREMPUAN DAN PERAN (KOMNAS) PEREMPUAN DI INDONESIA



    A.    Latar Belakang

    Masalah kekerasan terhadap perempuan saat ini tidak hanya merupakan masalah individual atau masalah nasional, tetapi sudah merupakan masalah global. Dalam hal- hal tertentu bahkan dapat dikatakan sebagai masalah transnasional. Banyak istilah yang digunakan seperti “violence against woman, gender based violence, gender violence, female-focused violence, domestic violence” dan sebagainya. Kekerasan terhadap perempuan telah tumbuh sejalan dengan pertumbuhan kebudayaan manusia. Masalah kekerasan terhadap perempuan dewasa ini, merupakan suatu hal yang menarik karena banyak diperbincangkan oleh kalangan praktisi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi dan masyarakat luas. Hal itu dilatarbelakangi adanya tuntutan peran perempuan yang semakin komplek seiring dengan perkembangan jaman yang cenderung lebih memperhatikan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) tanpa melihat atau membedakan jenis kelamin. Kekerasan terhadap perempuan sebagai masalah global, sudah mencemaskan setiap negara di dunia, tidak saja negara- negara yang sedang berkembang tetapi juga termasuk negara-negara maju yang dikatakan sangat menghargai dan peduli terhadap HAM seperti Amerika Serikat. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, menyandang predikat buruk dalam masalah pelanggaran HAM, yang salah satu diantaranya pelanggaran HAM perempuan.

    Pelanggaran HAM perempuan tersebut dapat digolongkan sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan. Dewasa kini kekerasan terhadap perempuan sangat mencemaskan banyak kalangan terutama kalangan yang peduli terhadap perempuan. Walaupun sejak tahun 1993 sudah ada Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan namun kekerasan terhadap perempuan tetap ada dan bahkan cenderung meningkat. Hal tersebut dapat diketahui dari pemberitaan di mass media baik media cetak maupun media elektronik.

    Keprihatinan terhadap korban kekerasan semakin mengemuka karena banyaknya kasus yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas, sedangkan dampak terhadap korban sangat mengenaskan dan membawa trauma berkepanjangan. Tindak kekerasan dapat menimpa siapapun dan dimanapun juga. Bila ditelusuri secara seksama dalam kehidupan sehari-hari, angka kekerasan yang ditujukan kepada perempuan cenderung meningkat dan membawa dampak yang sangat serius seperti kekerasan seksual, tindak perkosaan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan tersebut dipahami sebagai kekerasan yang berbasis gender atau gender based violence.

    Konsep ini sejatinya mengacu pada posisi subordinasi perempuan karena relasi keduanya mencerminkan powerless dan powerfull, dengan kata lain terdapat ketimpangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Dewasa ini berbagai peristiwa yang terjadi cukup kiranya untuk menggambarkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya dijumpai dalam novel, dan di negara seberang atau antah berantah, tetapi juga terjadi di Indonesia. Keberadaan perempuan yang seringkali digolongkan sebagai second class citizens makin terpuruk akhir-akhir ini dengan adanya berbagai kekacauan yang menciptakan korban- korban perempuan baru dalam jumlah yang cukup banyak, baik secara fisik (misalnya perkosaan, perbuatan cabul), psikologis (misalnya pelecehan, teror) maupun ekonomis (misalnya di PHK).

     

    B.     Rumusan Masalah

     

    1.      Bagaimana Pelanggaran Hak asasi manusia (HAM) Pada perempuan di Indonesia?

    2.      Bagamana peran Komnas perlindungan perempuan di Indoneesia?

    3.      Upaya apa Yang dilakukan Untuk Melindungi Pelanggaean hak asasi manusi Perempuan di Indonesia?

     

    C.    Tujuaan

     

    1.      Untuk mengetahui Pelanggaran Hak asasi manusia (HAM) Pada perempuan di Indonesia

    2.      Untuk Mengetahui peran Komnas perlindungan perempuan di Indoneesia

    3.      Untuk mengetahui Upaya apa Yang dilakukan Untuk Melindungi Pelanggaean hak asasi manusi Perempuan di Indonesia

     


     

    BAB II
    PEMBAHASAN

     

    A.    Pelanggaran Hak Asasi Manusia Perempuan

     

    1.      Sejarah Lahirnya HAM Perempuan

    Pengakuan dan penghormatan terhadap perempuan sebagai makhluk manusia sejatinya diakui sebagai hak yang inheren yang tidak bisa dipisahkan. Pemahaman ini menjadi entry point untuk memposisikan perempuan sebagai manusia yang bermartabat. Perbedaan biologis dengan laki-laki bukan alasan untuk serta merta menjadikannya sebagai manusia kelas kedua. Hal ini juga penting ditegaskan karena dalam situasi tertentu, perempuan merupakan bagian dari kelompok yang rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Peperangan dan konflik bersenjata misalnya telah membuktikan bahwa perempuan adalah korban terbesar pelanggaran hak asasi manusia seperti pemerkosaan, perdagangan budak, prostitusi, kerja paksa, dan sebagainya. Secara politik, kaum perempuan dianggap sekundair dan tidak punya otonomi, karena suamilah sebagai kepala keluarga, yang menentukan urusan yang bersifat publik. Seorang perempuan yang telah kawin serta merta dianggap sebagai milik suaminya, atau jika belum kawin milik ayah atau saudara laki-lakinya. Oleh karena itu kekerasan yang terjadi terhadap istri atau anak perempuan di rumah, seperti misalnya pemukulan, penyiksaan fisik/psikis, penelantaran, pemerkosaan dalam keluarga dan sebagainya tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM.

    Beberapa negara memperlakukan dengan baik perempuan serta laki-laki mereka. Jurang sosial dan ekonomi di antara perempuan dan laki-laki di hampir seluruh bagian dunia masih sangat besar. Perempuan mayoritas orang miskin dunia dan jumlah perempuan yang hidup dalam kemiskinan pedesaan meningkat hingga 50% sejak tahun 1975. Perempuan juga merupakan mayoritas buta huruf dunia. Di seluruh dunia, perempuan memperoleh penghasilan 30% sampai 40% lebih kecil daripada penghasilan laki-laki untuk mengerjakan pekerjaan yang sama. Di banyak negara perempuan tidak memiliki hak hukum yang sama dengan laki-laki dan karena itu diperlakukan sebagai negara kelas dua di kantor polisi dan di ruang pengadilan. Ketika di tahan atau RechtsVinding Online 2 dipenjarakan perempuan jauh lebih rentan terhadap perlakuan tidak senonoh daripada laki-laki khususnya bentuk penyalahgunaan yang didasarkan pada jenis kelamin seperti kekerasan seksual.

    Kondisi ini terus berlangsung karena bertahannya stereotipe dan praktikpraktik kepercayaan agama dalam balutan budaya yang merugikan perempuan. Hambatan utama mewujudkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan adalah melekatnya budaya patriarki dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Semua hak dapat dinalar melalui penalaran tentang HAM, namun ada HAM yang mempunyai kekhususan yaitu hak perempuan. Sekalipun perempuan adalah juga manusia, sehingga hak asasinya pun adalah HAM, namun karena ia perempuan maka ia mempunyai keihklasan dalam penalarannya. Sebelum adanya DUHAM PBB, seorang puteri Indonesia yang bernama Kartini pada tanggal 10 Juni 1901, menulis surat kepada rekannya di negeri Belanda yang menceritakan tentang harapan akan adanya emansipasi antara kaum perempuan dan lelaki, kebebasan berfikir mereka dan sebagainya. Disini Kartini telah membuka sebuah human right discourse (wacana HAM), meskipun artikulasi mengenai hakhak asasi masih amat sumir. Perjuangan meningkatkan kedudukan dan menegakan hak perempuan terjadi pula pada tingkat dunia.

    Dimulai pada tahun-tahun pertama setelah berakhirnya Perang Dunia I, pada tahun 1935 wakil pemerintah di Liga Bangsa-Bangsa (LBB) mulai membahas kedudukan perempuan, dan mempertimbangkannya dari aspek-aspek sipil dan politik. Setelah berakhirnya PD II, berdiri PBB dengan ditandatanganinya Piagam PBB di San Fransisco pada tahun 1945. Piagam PBB merupakan instrumen internasional pertama yang menyebutkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dalam pendahuluan piagam ini, antara lain ditegaskan kembali kepercayaan bangsa-bangsa di dunia akan HAM, harkat dan martabat setiap manusia dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Pada tahun 1948, DUHAM diadopsi oleh Majelis Umum (MU) PBB. Hal ini menunjukkan komitmen bangsabangsa di dunia untuk menjunjung tinggi dan melindungi hak kemanusiaan setiap orang tanpa perkecualian apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal usul kebangsaan atau sosial, hak milik, RechtsVinding Online 3 kelahiran, atau kedudukan lain.

    Setelah DUHAM, lahir berbagai instrumen HAM internasional mengenai aspek-aspek kusus tentang kedudukan perempuan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, antara lain Konvensi tentang Hak Politik Perempuan Tahun 1953 yang diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1956. Pada tahun 1975 diselenggarakan Konferensi Internsional Tahunan Perempuan dan Tribunal Internasional Tahunan Perempuan di Mexico City. Pemikiran para pejuang perempuan diakomodir dan diadopsi dalam hukum HAM sejak dirumuskannya instrumen internasional yang spesifik untuk menghadapi persoalan diskriminasi terhadapa perempuan, yaiitu Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1976 dan mulai berlaku pada tahun 1979. Pada tanggal 18 Desember 1979, MU PBB mengadopsi Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW. Konvensi ini meletakkan pemikiran dasar bahwa diskriminasi terhadap perempuan sebagai hasil dari relasi yang timpang di dalam masyarakat yang dilegitimasi oleh struktur politik dan termasuk hukum yang ada. Konvensi meletakkan pula strategi/langkah-langkah khusus sementara yang perlu dilakukan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini menjadi salah satu kerangka kerja internasional untuk perwujudan hak-hak perempuan. Pada tahun 1980 diadakan Konferensi Dunia tentang Perempuan dan Forum LSM di Copenhagen kemudian konferensi yang sama pun dilanjutkan pada tahun 1985 di Nairobi dan kemudian pada tahun 1990. Aktivitas ini berdampak pada kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional di PBB.

    Keberadaan Deklarasi Wina dan Kerangka Aksi (Vienne Declaration and Platform Action) 1993 sebagai hasil dari Konferensi Dunia tentang HAM merupakan momentum baru perkembangan konsep HAM yang melihat HAM secara universal, integral, dan saling terkait satu dengan lainnya. Tak kalah pentingnya, Deklarasi ini menegaskan konsepsi tentang hak asasi perempuan sebagai HAM yang universal. Sebagai kerangka aksi, Deklarasi Wina kemudian menekankan agar hak asasi perempuan harus menjadi bagian yang integral dalam seluruh aktivitas dari HAM yang dijalankan oleh PBB dan setiap instrumen HAM yang terkait dengan RechtsVinding Online 4 perempuan. Tidak hanya di tingkat PBB tapi juga diharapkan pemerintah, organisasi antar pemerintah dan LSM juga diharapkan mengintensifkan upaya untuk promosi dan perlindungan hak asasi perempuan dan anak perempuan. Pada Konferensi ke-4 tentang Perempuan di Beijing 1995, dihasilkan pula Pedoman Aksi Beijing (The Beijing Platform for Action) yang meletakkan 12 area kritis terkait dengan pemenuhan hak asasi perempuan sebagai HAM.

    Konseptualisasi hak asasi perempuan sebagai HAM dan kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM dan kerangka kerja untuk menghapuskannya meletakkan setiap instrumen HAM dimaknai ulang. Beberapa mekanisme HAM PBB yang berbasis pada perjanjian kemudian melakukan adopsi dengan mengeluarkan Komentar Umum/Rekomendasi Umum untuk mengkaji ulang persamaan antara hak antara laki-laki dan perempuan. Komentar Umum/Rekomendasi Umum tersebut yaitu: 1. Komite HAM untuk Hak Sipil dan Politik mengeluarkan Komentar Umum Nomor 28 Tahun 2000 tentang Persamaan Hak antara Laki-Laki dan Perempuan (Pasal 3) (General Comment NO. 28: Equality of rights between men and women (article 3) tahun 2000).

    Pada Komentar Umum tersebut komite menegaskan bahwa setiap negara yang sudah meratifikasi konvensi hak sipil dan politik, tidak saja harus mengadopsi langkah-langkah perlindungan tapi juga langkah-langkah posiitf di seluruh area untuk mencapai pemberdayaan perempuan yang setara dan efektif. Langkah ini termasuk pula penjaminan bahwa praktek-praktek tradisi, sejarah, agama, dan budaya tidak digunakan untuk menjustifikasi pelanggaran hak perempuan. Dengan adanya Komentar Umum ini Komite ingin memastikan bahwa negara pihak dalam membuat laporan terkait hak-hak sipil dan politik harus menyediakan informasi tentang bagaimana pengalaman perempuan yang banyak dilanggar haknya dalam setiap hak yang dicantumkan dalam Konvensi.

    Komite tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan meletakkan pula kerangka langkah-langkah khusus sementara (temporary special measures) untuk penghapusan diskriminasi langsung dan tidak langsung (direct and indirect discrimination) yang terjadi terhadap RechtsVinding Online 5 perempuan yang sangat mempengaruhi penikmatan hak asasi perempuan dalam rekomendasi Umum No.25 (2004). Dirasa penting membedakan adanya situasi khas perempuan secara biologis dan situasi yang tidak menguntungkan akibat dari proses penindasan dan situasi yang tidak setara yang cukup lama hadir. Komite menekankan bahwa posisi perempuan yang tidak beruntung tersebut perlu disikapi dengan pendekatan persamaan hasil (equality of result) sebagai tujuan dari persamaan secara substantif (substantive equality) atau de facto tidak saja persamaan secara formal (formal equality).

    2.      Pelanggaran HAM Perempuan Di Indonesia

    a)      Kekerasan Pada Perempuan

    Kekerasan terhadap perempuan merupakan konsep baru, yang diangkat pada Konferensi Dunia Wanita III di Nairobi, yang berhasil menggalang konsensus internasional atas pentingnya mencegah berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam kehidupan sehari-hari di seluruh masyarakat dan bantuan terhadap perempuan koban kekerasan. Oleh karena kekerasan terhadap perempuan merupakan konsep baru, maka mengenai definisi atau batasan kekerasan terhadap perempuan belum ada definisi tunggal dan jelas dari para ahli atau pemerhati masalah-masalah perempuan. Walaupun demikian kiranya perlu dikemukakan beberapa pendapat mengenai hal tersebut.

    Pada tahun 1993, Sidang Umum PBBmengadopsi deklarasi yang menentang kekerasan terhadap wanita yang dirumuskan pada tahun 1992 oleh Komisi Status Wanita PBB. Pada Pasal 1 Deklarasi dinyatakan bahwa kekerasan terhadap wanita mencakup: setiap perbuatan kekerasan atas dasar perbedaan kelamin, yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kerugian atau penderitaan terhadap wanita baik fisik, seksual atau psikis, termasuk ancaman perbuatan tersebut, paksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam kehidupan yang bersifat publik maupun privat. Pasal 2 Deklarasi menyatakan bahwa definisi tersebut hendaknya dipahami untuk meliputi, tetapi tidak terbatas pada kekerasan fisik, seksual dan psikis yang terjadi di dalam keluarga dan di dalam masyarakat, termasuk penganiayaan, perlakuan seksual secara salah terhadap anak wanita.

    Kekerasan yang berkaitan dengan mas kawin (dowry-related violence), perkosaan dalam perkawinan (marital rape), penyunatan wanita yang mengganggu kesehatan (female genital mutilation) dan praktek-praktek tradisional lain yang merugikan wanita, kekerasan di luar hubungan perkawinan, kekerasan yang bersifat eksploitatif, pelecehan wanita secara seksual (sexual harrasment) dan intimidasi di lingkungan kerja, dalam lembaga pendidikan, perdagangan wanita, pemaksaan untuk melacur, dan kekerasan yang dilakukan oleh penguasa, Definisi ini secara tegas menunjuk akar kekerasan pada hubungan gender (gender- based roots). Dari sisi siklus kehidupan manusia

    kekerasan terhadap perempuan dapat diiden- tifikasikan sebagai berikut:

    ·         Sebelum kelahiran, tipe kekerasannya antara lain: aborsi atas dasar seleksi kelamin (Cina, India, Korea), peng- aniayaan pada saat hamil, pemaksaan kehamilan seperti perkosaan massal pada saat perang.

    ·         Pada saat bayi, tipe kekerasannya antara lain: pembunuhan anak bayi (perempuan), perlakuan salah baik emosional dan psikis, perbedaan perlakuan dalam bidang makanan dan kesehatan terhadap anak perempuan.

    ·         Pada usia anak, tipe kekerasannya antara lain: kawin anak, penyunatan, perlakuan seksual baik oleh keluarga maupun orang lain, pelacuran anak.

    ·         Pada usia remaja, tipe kekerasannya antara lain: kekerasan pada saat bercumbuan (date rape), perlakuan sex terpaksa karena tekanan ekonomi, pelecehan seksual di tempat kerja, perkosaan, pelacuran paksa, perda- gangan wanita.

    ·         Masa reproduksi, tipe kekerasannya

     

    B.     Peran (komnas) dalam Melindungi Hak asasi Manusi pada Perempuan

     

    1.      Sejarah Terbentuknya Komnas Perempuan

    Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalah salah satu lembaga nasional hak asasi manusia (NHRI, National Human Rights Institution), yang berfokus pada penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia. Komnas Perempuan adalah lembaga negara yang independen yang dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 15 Oktober 1998, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005.

    Komnas Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat sipil, terutama kaum perempuan, kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menanggapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan tersebut berakar pada tragedi kekerasan seksual yang terutama dialami oleh perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia.

    Setelah memahami pengertian dan latar belakang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan selanjutnya kita masuk ke fungsi dan tujuan dari lembaga tersebut. Adapun fungsi dan tujuannya terurai sebagai berikut.

    Fungsi dan tujuan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KNAKP)

    2.      Tujuan Komnas Perempuan:

    1.      Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia;

    2.      Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segal bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan.

    3.      Mandat dan Kewenangan Komnas Perempuan:

    • Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan, serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;
    • Melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta berbagai instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi perempuan;
    • Melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan, serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan;
    • Memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislative, dan yudikatif, serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusuanan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan.;
    • Mengembangkan kerja sama regional dan internasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia, serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan.

    4.      Peran atau Fungsi

    Dalam menjalankan mandatnya, Komnas Perempuan mengambil peran sebagai berikut :

    1.      Pemantau dan pelapor tentang pelanggaran HAM berbasis gender dan kondisi pemenuhan hak perempuan korban;

    2.      Pusat pengetahuan (resource center) tentang hak asasi perempuan;

    3.      Pemicu perubahan serta perumusan kebijakan;

    4.      Negosiator dan mediator antara pemerintah dengan komunitas korban dan komunitas pejuang hak asasi perempuan, dengan menitikberatkan pada pemenuhan tanggungjawab negara pada penegakan hak asasi manusia dan pada pemulihan hak-hak korban;

    5.      Fasilitator pengembangan dan penguatan jaringan di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional untuk kepentingan pencegahan, peningkatan kapasitas penanganan dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan

     

    C.    Upaya Melindugi Hak Asasi Manusia Pada Perempuan

    RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang tidak seluruhnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah ketentuan khusus (lex specialist) dari KUHP. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga merumuskan jenis-jenis pemidanaan sebagai pidana pokok maupun pidana tambahan yang berbeda dengan KUHP. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak merumuskan denda sebagai ancaman pidana karena denda akan masuk ke kas negara namun tidak berkorelasi dengan penyediaan penggantian kerugian bagi korban. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual memperkenalkan rehabilitasi khusus bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual tertentu. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga merumuskan sejumlah ancaman pidana tambahan yang dijatuhkan sesuai perbuatan yang dilakukan, seperti ancaman pidana tambahan perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, kerja sosial, pembinaan khusus, pencabutan hak asuh, pencabutan hak poltik, pencabutan hak menjalankan pekerjaan tertentu, pencabutan jabatan atau profesi dan pengumuman putusan hakim.

    Pengaturan dalam KUHP tentang kekerasan seksual sangat terbatas. Secara garis besar, bentuk kekerasan seksual hanya perkosaan dan pencabulan. Pengaturan yang tersedia itupun belum sepenuhnya menjamin perlindungan hak korban, seperti adanya rumusan pasal yang menetapkan salah satu unsurnya adalah ancaman, sehingga korban yang berada dalam relasi kuasa yang tidak setara dengan pelaku atau berada dalam kondisi tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya, tidak terlindungi oleh ketentuan ini.

    Selain itu, ketentuan mengenai perkosaan sulit diterapkan apabila perkosaan bukan melalui penis (laki-laki) ke vagina (perempuan). Hal ini terjadi karena, meskipun kejahatan perkosaan dalam KUHP diatur dalam Pasal 285 sampai dengan Pasal 288 KUHP, kata “perkosaan” hanya ada dalam Pasal 285 KUHP, sedangkan pasal-pasal lainnya menggunakan kata “bersetubuh”. Kata ‘bersetubuh” menurut R. Soesilo, mengacu pada Arrest Hooge Raad 5 Februari 1912, yaitu peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak. Jadi kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam kemaluan perempuan sehingga mengeluarkan mani. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka tindakan itu beralih menjadi perbuatan cabul. Penggunaan delik perbuatan cabul atas kasus perkosaan, selain mengaburkan konteks tindak pidana perkosaan yang terjadi, juga merugikan korban karena ancaman pidananya lebih rendah daripada ancaman pidana perkosaan, sehingga menjauhkan pemenuhan rasa keadilan bagi korban.

    Hal lainnya dalam KUHP adalah  peletakan tindak pidana perkosaan dalam bab tindak pidana terhadap kesusilaan. Kesusilaan dimaknai sebagai sopan santun masyarakat dengan nafsu perkelaminan. Karenanya, kesusilaan lebih memberi penekanan pada perlindungan ‘rasa susila masyarakat’. Padahal tindak pidana perkosaan pada dasarnya merupakan kejahatan terhadap orang atau kejahatan atas integritas tubuh dan seksualitas korban, yang kebanyakan adalah perempuan dan anak. Penempatan pasal-pasal perkosaan dan perbuatan cabul sebagai jenis kekerasan seksual dalam Bab Tindak Pidana Kesusilaan cenderung mengaburkan hakikat dari kekerasan seksual yang merupakan perbuatan kejahatan terhadap orang yang melanggar integritas tubuh korban, direduksi menjadi pada persoalan pelanggaran rasa susila masyarakat.

    Melalui RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, ketiadaan rumusan spesifik tentang pendefinisian kekerasan seksual dalam KUHP akan dapat disempurnakan. Jenis kekerasan seksual yang tidak diatur dalam KUHP misalnya pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual akan diakomodasi dan dirumuskan pemidanaannya dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur definisi, unsur dan pemidanaan terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual sehingga memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan bagi korban. Dari 15 (lima belas) jenis kekerasan seksual, definisi setiap jenis kekerasan seksual diatur dalam 9 pasal dimana masing-masing pasal mengatur unsur perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana. 

    RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur peran dan tugas Lembaga Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan pencegahan kekerasan seksual. Pengaturan ini tidak terdapat dalam KUHP, dan tidak dapat diatur oleh KUHP karena materi muatan ini bukan merupakan tindak pidana. Mengingat pencegahan kekerasan seksual merupakan hal yang penting, maka pencegahan ini harus diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

    Yang dimaksud Pencegahan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah segala upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual dan keberulangan kekerasan seksual. Pencegahan kekerasan seksual adalah salah satu ruang lingkup dari penghapusan kekerasan seksual yang merupakan kewajiban negara, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan keluarga, masyarakat dan korporasi. RUU ini mengatur peran dan tugas lembaga pengada layanan dalam penyelenggaraan perlindungan dan pemulihan korban, hal yang tidak diatur KUHP, karena KUHP tidak mengatur ketentuan di luar pidana. RUU ini juga melengkapi peran dan tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk penyediaan perlindungan terhadap saksi dan korban kekerasan seksual.

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

    BAB III
    PENUTUP

    A.    Kesimpulan

     

    Perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan adalah merupakan tanggung jawab kita bersama, sebagai individu, masyarakat, penegak hukum dan bahkan pemerintah. Dan pada tingkat nasional telah dilakukan dengan pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Konvensi CEDAW) dengan UU No. 7 tahun 1984; diundang kannya UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM; diterbitkannya Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender; dan disahkannya UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Perempuan atau sekelompok perempuan dapat menyampaikan pengaduan kepada komite CEDAW, setelah melalui upaya nasional, tentang pelanggaran berat dan sistematis yang terjadi pada dirinya atau sekelompok perempuan, baik yang dilakukan oleh orang atau negara yang menjadi peserta Konvensi CEDAW.

    Masuknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ke dalam daftar prolegnas 2016-2017 yang dibahas di DPR merupakan tonggak sejarah dengan adanya dukungan publik pada korban kekerasan seksual. Melalui pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Kekerasan Seksual ini menjadi undang-undang, maka diharapkan dapat mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi dan memulihkan korban; menindak pelakunya; dan menjamin terlaksananya kewajiban negara serta peran dan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.

    Peranan hukum dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan dari tindak kekerasan dapat dilaksanakan dengan cara: peningkatan kesadaran perempuan terhadap hak dan kewajibannya; peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya usaha mengatasi kekerasan terhadap perempuan; perlu koordinasi antar negara dalam melakukan kerjasama penanggulangan; meningkatkan kesadaran aparat penegak hukum untuk bertindak cepat; peningkatan bantuan dan konseling terhadap korban; meningkatkan peranan mass media; perbaikan sistem peradilan pidana; pembaharuan sistem pelayanan kesehatan untuk korban; serta secara terpadu meningkatkan program pembinaan terhadap korban

     

     

    DAFTAR RUJUKAN

     

    http://www.smansax1-edu.com/2014/09/fungsi-dan-tujuan-komisi-nasional-anti.html

    Laporan pertanggungjawaban Publik Komnas Perempuan Tahun 2002-2004.

    Laporan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2016, Jakarta, 2017.

    Kunthi Tridewiyani, Et al.Ed., Mewujudkan Perlindungan Hak-hak Perempuan Korban dalam Kebijakan: Himpunan Kertas Posisi dan Kajian dari Berbagai Kebijakan Tahun 2010-2013. Jakarta: Komnas Perempuan, 2014.

    Muladi, 1997, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang,

    R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor: Politea, 1994.

     

      

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Art Education. Diberdayakan oleh Blogger.

Postingan Populer