Dikalangan
orang sufi ternyata terdapat beberapa istilah yang spesifik (yang khusus)
berlaku diantara mereka, yang kadang- kadang tidak mudah difahami orang diluar
istilah- istilah tersebut muncul karena beberapa sebab, antara lain;
Pertama
dikatakan oleh sisufi dalam keadaan sedang ektase (tidak sadar diri karena
konsentrasinya terlalu kuat) atau dalam istilah mereka sedang “fana” atau
sedang “jadzab”. Kedua istilah tersebut digunakan untuk mengungkapkan maksud
atau pengalaman- pengalaman rohaniyah mereka yang sulit diungkapkan dengan
kalimat- kalimat lain yang umum, seperti kata “mukasyafah” (keterbukaan batas
antara tuhan dan hambanya, sehingga dengan ketajaman rohaninya dia dapat
melihat atau mendengar alam “malakut” yang diluar kekuatan jangkaun pandangan
inderawi)
Ketiga istilah-
istilah itu sengaja digunakan untuk merahasiakan sebagian ajaranya agar tidak
dijadikan pembicaraan orang lain, yang belum siap atau belum memenuhi syarat-
syarat untuk membicarakanya, seperti kata-kata “Ad-dzauq wa as-syarb”, yang
dimasud ad-dzauq dilingkungan mereka adalah merasakan atau menikmati lezatnya
keinntiman rohani dengan tuhan setelah lama berusaha memperolehnya melalui
mujahaddah (kerja keras). Dan karena kkenikmatan yang dirasakan begitu kuat,
sehingga diibaratkan seperti seorang yang meneguk minuman yang dapat memabukkan
(disebut sebagai as-syarab) dan ia berusaha merasakanya sampai tidak ingat
apa-apa lagi dan tidak menyadari apa yang ada disekitarnya. Ada istilah lain
yang populer dikalangan sufi yaitu ; “al- muhadlarah, al-mukasyafah, dan
almusyahadah”.
Dalam makalah
ini, kami akan membahas tentang beberapa istilah dan pokok ajaran tashawuf.
1.
Apa sajakah istilah dan pokok ajaran tashawuf sunni?
1.
Untuk mendiskripsikan beberapa istilah dan pokok ajaran tashawuf
sunni
Dikalangan
orang sufi ternyata terdapat beberapa istilah yang spesifik (yang khusus)
berlaku diantara mereka, yang kadang- kadang tidak mudah difahami orang diluar
istilah- istilah tersebut muncul karena beberapa sebab, antara lain;
Pertama dikatakan oleh sisufi dalam keadaan sedang ektase (tidak
sadar diri karena konsentrasinya terlalu kuat) atau dalam istilah mereka sedang
“fana” atau sedang “jadzab”. Ucapan- ucapan tersebut juga disebut “Syathohat”
Kedua istilah tersebut digunakan untuk mengungkapkan maksud atau
pengalaman- pengalaman rohaniyah mereka yang sulit diungkapkan dengan kalimat-
kalimat lain yang umum, seperti kata “mukasyafah” (keterbukaan batas antara
tuhan dan hambanya, sehingga dengan ketajaman rohaninya dia dapat melihat atau
mendengar alam “malakut” yang diluar kekuatan jangkaun pandangan inderawi)
Ketiga istilah- istilah itu sengaja digunakan untuk merahasiakan
sebagian ajaranya agar tidak dijadikan pembicaraan orang lain, yang belum siap
atau belum memenuhi syarat- syarat untuk membicarakanya, seperti kata-kata
“Ad-dzauq wa as-syarb”, yang dimasud ad-dzauq dilingkungan mereka adalah
merasakan atau menikmati lezatnya keinntiman rohani dengan tuhan setelah lama
berusaha memperolehnya melalui mujahaddah (kerja keras). Dan karena kkenikmatan
yang dirasakan begitu kuat, sehingga diibaratkan seperti seorang yang meneguk
minuman yang dapat memabukkan (disebut sebagai as-syarab) dan ia berusaha
merasakanya sampai tidak ingat apa-apa lagi dan tidak menyadari apa yang ada
disekitarnya.
Ada istilah
lain yang populer dikalangan sufi yaitu ; “al- muhadlarah, al-mukasyafah, dan
almusyahadah”. Al- muhadlarah adalah konsentrasi hati yang terfokus (terpusat)
pada tuhan, dengan kesadaran bahwa tuhan selalu memperhatikan dan mengawasinya,
secara lahir maupun batin, dari gerakan ragawi sampai bisikan hati. Pada tahap
ini seorang sufi terikat dengan aturan-aturan buku ayat-ayat tuhan. Imam
Al-juaidi menegasakan bahwa al- muhadlarah, serorang terikat dengan
ayat-ayatnya, artinya peran syariah akan menonjol. Sedangkan dalam tahap
mukasyafah ditegaskan oleh imam
Al-junaidi bahwa ia (sufi) mendapat kebebasan melihat sifat- sifatnya
dengan penuh. Dan dalam tahap al-musyahadah, si
sufi akan bertemu dzat tuhan dengan kejernihan dan ketajaman batinya,
setelah terbuka tirai batas yang menghalanginya.
Dalam
al-muhadlarah, seorang sufi dibimbing akalnya dan dalam al-mukasyafah ia
didekatkan (kepada allah) oleh ilmunya, sedangkan dalam al-musyahadah, ia
mengalami ketiadaan diri dari kema’rifahanya. Para tokoh sufi ia menggambarkan
suasana mukasyafah dan musyahadah sebagaimana yang dialami seorang yang sedang
berjalan dimalam yang sangat gelap, kemudian terjadi pijar- pijar cahaya kilat,
maka apabila kilat-kilat itu terus menerus memancarkan cahayanya, malampun akan
terang seperti siang, demikian halnya yang dialami oleh hati manusia yang
memperoleh pijar cahaya ilahi dalam kegelapan rohaninya.
Untuk mencapai
tingkat “Ma’rifah” (penyaksian hati yang mendapatkan pencerahan nur illahi
sehingga mampu mendekat dan mendapatkan kasyaf / keterbukaan kepada Allah),
para sufi berusaha melakukan beberapa tahapan perjalanan rohani (suluk),
antara lain yang dipandang sangat
mendasar adalah:
1.
At- Taubah, Menurut Al- Qusyairi dan juga umumnya para imam- imam
sufi, memandang at- taubah, atau dalam bahasa sehari- hari disebut “tobat;
sebagai tahap pertama langkah perjalanan, dan peringkat awal dari peringkat-
peringkat orang yang sedang mencari kedekatan dengan Tuhan. Menurut Al-
Ghazali, untuk memahami masalah at- taubah ini, ada tiga hal yang perlu
dipahami :
a.
Pengertian / al- ‘ilm, yakni mengerti besarnya resiko yang timbul
dari perbuatan dosa, yang menjadi penghalang terbukanya hubungan antara manusia
dengan Tuhan, dan menjadi hambatan semua akses kejalan kebenaran.
b.
Suasana batin / al-hal, yakni dengan pengetahuan tersebut akan mendorong
timbulnya suasana yang tidak enak yang menggelisahkan hati, dan apabila hal itu
disadari karena perbuatan dirinya, maka ia akan menyesalinya.
c.
Perbuatan / al-fi’l, yakni kemauan untuk mengambil langkah nyata,
dalam perbuatan dan perilaku dengan meninggalkan semua perbuatan penyimpangan /
pelanggaran yang pernah dilakukan. Imam Al- junaid membagi at-taubah ini dalam
tiga makna : pertama, menyesali perbuatanya (al-nadam). Kedua, niat yang
sungguh- sungguh tidak mengulangi kesalahan atau kekhilafan (al- ‘azm), dan
ketiga, usaha mengembalikan barang- barang yang diambil atau diperoleh dengan
tidak benar (as- sa’yu).
Dikalangan para
sufi, at-taubah ini mempunyai tiga peringkat kualitas :
a.
Tobatnya orang awam, yaitu tobat dari perbuatan maksiat, dengan
cara-cara diungkapkan diatas.
b.
Tobatnya orang yang melakukan tashawuf (as- salik), karena
merasa melakukan kelalaian mengingat atau
mengurangi ketaatan kepada Allah, dengan cara melawan selera hawa nafsu
dan kebiasaan- kebiasaanya, dan dengan cara itu ia dapat meningkatkan
keberdayaan rohaninya untuk melakukan pendekatan kepada Allah secara lebih
intens (lebih kuat).
c.
Tobatnya orang yang sudah mencapai kearifan (al- ‘arif), yang
merasa terputus hubungan batinya dengan Allah. Mereka berusaha secepat mungkin
untuk dapat kembali berkomunikasi dengan Allah, dan berusaha dengan segala
kemampuan rohaninya untuk selalu dalam pengayomannya. Pada peringkat ini,
masalahnya bukan masalah dosa atau kelalaian dzikir kepada Allah, tetapi pada
keterputusan hatinya oleh selain Allah.
2.
Az- Zuhd, sifat dan sikap zuhud sudah dicontohkan oleh Rasulullah
s.a.w dan para sahabatnya. Mereka menganggap harta dan kenikmatan duniawi ini
bagai suatu yang tidak penting, terlalu kecil jika dibandingkan dengan
kehidupan akhirat, terlalu rendah nilai-nilainya dibanding dengan kekayaan
akhirat, allah berfirman dalam surat an- Nisa’ ayat 77 :
” kesenangan
didunia ini hanya sedikit / sebentar dan akhirat lebih baik untuk orang- orang
yang bertakwa”
Meskipun kezuhudan itu selalu ditandai oleh sikap yang tidak
tertarik dengan dunia materi dan kenikmatan duniawi, atau lebiih tegas lagi,
hati seorang zahid tidak mau dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya harta dan
barang- barang duniawi, namun tidak berarti setiap orang yang fakir atau miskin
itu zahid, sebab banyak orang yang tidak memiliki harata dan sarana materi,
tetapi hatinya sangat ganderung (menginginkan) kepada harta dan kekayaan itu.
Dia fakir tetapi tetap tidak zahid. Dan sebaliknya, banyak orang yang memiliki
harta kekayaan, memiliki sarana duniawi yang cukup banyak, tetapi hatinya tidak
terpengaruh dengan apa yang dimiliki itu, mudah untuk melepaskanya untuk
keperluan apa saja yang baik dan manfaat, tanpa keberatan hati, seperti yang
dilakukan oleh sahabat- sahabat besar Nabi Muhammad s.a.w, misalnya : Usman bin
Affan, Sa’ad bin abi Waqqash, Abdurrahman bin ‘Auf, mereka kaya dalam
kepemilikan, tetapi mereka hidup dalam kesederhanaan kemurahan hati, maka layak
apabila mereka mendapat jaminan masuk surga oleh Nabi s.a.w. adalah sangat
tepat penegasan Ali bin Abi Thalib r.a. waktu ditanya tentang zuhud. Ia
menjawab, bahwa zuhud itu terletak diantara dua kalimat dari alqur’an Q.S
al-Hadid ayat 23 yang dalam isinya memiliki arti “ supaya kamu jangan merasa
sedih terhadap apa yang lepas darimu, dan jangan terlalu gembira terhadap apa
yang diberikan kepadamu”
Imam junaid
mengatakan : zuhud itu sikap yang mengganggap kecil terhadap dunia, dan
menghilangkan pengaruhnya dalam hati.
Imam Ahmad bin
Hambal mengatakan : zuhud itu dapat dibedakan dalam tiga ukuran : pertama,
meninggalkan semua barang yang haram, dan ini merupakan zuhudnya orang awam.
Kedua, meninggalkan berlebihan pada barang yang halal, dan itu zuhudnya orang
istimewa (al-qowash) dan ketiga, meninggalkan kesibukan apa saja, selain
untuk Allah dan ini merupakan zuhudnya orang yang ‘arif.
Imam Sufyan At-
Tsuri juga menegaskan : Zuhud di dunia ini adalah membatasi keinginan-
keinginanya, bukan dengan makan- makanan yang kasar atau berbusana dengan yang
sederhana.
Imam Al Ghazali
memberikan penjelasan bahwa zuhud mempunyai tiga tingkatan : pertama, dan
paling bawah adalah zuhud terhadap dunia (barang-barang duniawi) dan ia
merasakan hal yang begitu berat karena hatinya sebernarnya masih menginginkanya
namun dia jiwanya berusaha melawanya. Orang ini disebut sebagi “al- Mutazahhid”
(belajar zuhud). Kedua, orang yang siap meninggalkan urusan duniawi secara
sukarela, jiwanya merasa ringan berasa ringan dari masalah tersebut, orang ini
disebut “az- Zahid”. Ketiga, yang tidak merasa ada keberatan apapun
meninggalkan masalah duniawi dengan segala kenikamatan dan kemewahanya, karena
memang jiwanya tidak tertarik lagi dan mengganpnya sebagai sesuatu yang tidak
berharga. Kenikmatan dan nilai dunia tidak dapat lagi diukur dengan kenikmatan-
kenikmatan akhirat.
3.
Al- Wara’, kata ini asalnya mempunyai arti “menahan diri” atau
pengendalian diri. Namun dalam pengertian tashawwuf kata al-wara’ ini mempunyai
arti yang panjang. Imam Abu Sufyan Ad- Darani mengatakan bahwa al- Wara’ itu
merupakan pendahuluan zuhud, jadi tidak mungkin orang dapat melakukan kezuhudan
tanpa memiliki sifat wara’. Ditegaskan, bahwa al- Wara’ itu ada tiga tingkatan
: pertama, wara’nya orang awam (wara’ al- awam) yang menahan diri dari
melakukan segala hal yang tidak layak dilakukan, meskipun itu bukan maksiat,
termasuk menjauhkan diri dari barang yang subhat (yang tidak jelas hukumnya apa
halal atau haram). Kedua, wara’nya orang khas (wara’ al-khusus) yakni
menjauhkan diri dari segala apa saja yang dapat mengganggu hatinya, ayau
mengganggu orang lain. Ketiga, wara’nya orang yang sangat khusus (wara’
khusushi al- khushush), yang menjauhi segala hal selain allah.
Al- Qusyairi
membedakan antara wara’ dan zuhud dengan menjelaskan bahwa al-wara’ itu
menjauhkan diri dari segala hal yang berbau subhat, sedangkan az- Zuhud adalah
meninggalkan atau menjauhi hal- hal yang melebihi kebutuhan pokok.
4.
At- Tawadlu’, berlaku sopan baik terhadap sesama manusia, apalagi
terhadap Allah, sebab tawadlu’ merupakan penjabaran dari akhlak luhur (husnna
al- Khuluq / makarim al- akhlaq) yang menjadi indikasi (tanda- tanda) kualitas
agama seseorang. Maka sifat dan sikap serta perilaku yang dinilai menjadi
sumber segala dosa, yakni : kesombongan (al- kibr), keserakahan (al- hirsh),
dan kedengkian / irihati (al- hasad) harus jauh-jauh ditinggalkan, sebab
hal-hal tersebut oleh Rasulullah s.a.w dinyatakan sebagai induk segala
pelanggaran atau sumber segala perbuatan dosa.
5.
Al- Muraqobah, dalam istilah tashawwuf, pengertian al- muroqobah
ini adalah kesadaran yang intens bahwa Allah selalu memantau dan mengawasi
segala niat, sikap dan perilaku manusia dalam segala situasi, disemua tempat,
dan disetiap waktu. Karena kesadaran tersebut seseorang yang menyadari adanya
muroqobah ini selalu mengontrol diri, dan mengendalikan sikap dan perilakunya
jangan sampai menyimpang dan melanggar aturan Allah S.W.T.
6.
Ad- dzikir, banyak sekali ayat- ayat al-qur’an yang memerintahkan
berdzikir, seperti pada ayat 125 dalam surat al- Baqarah:
“Maka ingatlah kamu kepadaku maka niiscaya
ingat pula kepadamu”
Murut Imam Al- Qusyairi, dzikir itu ada dua macam yakni “dzikru al
lisan” (dzikir dengan
lisan), dan dzikru al qalb (dzikir dengan hati). Dzikir dengan
lisan untuk mengantar seseorang
dapat melanggengkan (menetapi) menuju dzikir dengan hati, dan mempengaruhi
tingkatan
hati. Apabila seseorang mampu melakukan sesuatu dengan lisan dan
hati seligus maka itu
merupakan hal yang sempurna dalam menjalankan ketasawuffan.
Diantara keistimewaan berdzikir ini, ialah tidak adanya batasan
waktu, setiap saat dan
kesempatan, orang dianjurkan melakukan dzikir kepada Allah S.W.T
baik itu wajib maupun
sunnah. Dan sembahyang / sholat itu meskipun merupakan yang paling
mulia diantara
berbagai macam ibadah, namun masih ada waktu tertentu yang tidak
boleh melakukan
shalat didalamnya, tetapi sebaiknya dzikir dapat dilakukan setiap
waktu dan keadaan.
Dzikru al- khawash, yaitu dzikir dalam hati, dengan membayangkan
hakikat dzat yang dicintai (Allah) dalam hatinya dengan penuh konsentrasi. Ini
yang disebut sebagai “al-munajah” atau munajat ar-ruh (bisikan hati / jiwa).
Dalam situasi ini lisanya berhenti mengucapkan dzikir supaya tidak merusak atau
mengganggu konsentrasinya. Dzikru as- sirri, yakni dzikir sepenuh jiwa sehingga
hakikat dirinya melebur dab hilang pada yang maha wujud.
7.
Al- Istiqomah, prinsip istiqomah menuntut perpaduan ketat antara
menjalankan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan, yang hakikatnya hanya dapat
dilakukan secara sempurna oleh para Nabi dan para tokoh Auliya’. Al- Istiqomah
ini ada tiga tahap, yakni : pertama Istiqomah al- lisan (istiqomahnya lisan),
dengan konsisten mempertahankan kalimah syahadah. Kedua, Istiqomah al- jinan
(istiqomahnya hati), dengan membetulkan segala kemampuan untuk kebenaran. Ketiga,
Istiqomah al- arkan (istiqomahnya kekuatan ragawi), dengan uapaya keras
beribadah.
Syekh Abu ‘Ali
Ad- Daqqaq mengatakan, bahwa istiqomah itu dimulai dari “at- taqwim”
(mendisiplinkan diri), kemudian “al- iqomah” (meluruskan hati), dan setelah itu
baru “al- istiqomah” (mendekatkan hati nurani terus menerus kepada Allah).
Imam As- Syibli
mengatakan, bahwa istiqomah itu dapat dibedakan menjadi empat macam : pertama,
al- istiqomah fi al- aqwal (istiqomah dalam pembicaraan / omongan) dengan
meninggalkan omongan yang mengandung fitnah. Kedua, istiqomah fi al- af’al
(istiqomah dalam perbuatan / perilaku) dengan meniadakan perilaku yang termasuk
bid’ah. Ketiga, al- istiqomah fi al- a’mal (isriqamah dalam hal ibadah) dengan
meniadakan sifat malas dan angin- anginan dalam melakukan amal ibadah. Keempat,
al- istiqomah fi al- ahwal (istiqomah dalam
menjaga kondisi batin) dengan meniadakan segala hal yang dapat
menghalangi / mengganggu hubungan dengan tuhan.
Nahdlatul Ulama
dan warganya memang sangat perhatian
(concern) terhadap tashawuff, baik secara kelembagaan maupun secara pengalaman,
hal itu dapat dibuktikan dengan adanya badan otonomi dalam NU yang bernama
“Jami’ iyah at- thariqah al- Mu’ tabarah an- Nahdliyah” dengan segala program
dan kegiatanya. Juga dalam kehidupan sehari- hari warga ini banyak melakukan
tradisi keagamaan yang bernuansa ketashawuffan, seperti : Tahlilan,
istighosahan, wirid, tirakatan dan lain- lain. Yang semuanya itu merupakan
amalan tashawuf yang dikembangkan pada media akar rumput Nahdlatul Ulama, dan
sekalian dijadikan sebagai media komunikasi dan pembinaan ummat secara efektif.
Di samping itu rata- rata Ulama Nahdliyin menjadi anggota salah satu thariqat
yang diakui kebenaranya (al- mu’tabarah). Paling tidak menekuni amalan- amalan
rohani yang berbau tashawuf hanya saja pada tingkat kajian ilmiah tentang
kethasawufan ini sangat terbatas sekali, sehingga tashawuf difahami sebatas
thariqat dengan segala ajaran praktiknya saja, disamping formalitas- formalitas
kelembagaan fenomena lain yang dapat diamati tentang besarnya pengaruh thasawuf
ini dalam komunitas Nahdliyin ialah penghormatan yang tinggi disertai loyalitas
yang kuat terhadap para kyai, dan orang- orang yang diduga sebagai wali,
sampai- sampai kadang melampau batas kewajaran, terutama yang terjadi pada
masyarakat awam, yang dapat mengudang orang- orang yang tidak bertanggung jawab
untuk memanfaatkan situasi demikian dengan maksud mencari keuntungan pribadi
dan penipuan sosial.
Dikalangan
orang sufi terdapat beberapa istilah yang spesifik (yang khusus) berlaku
diantara mereka, yang kadang- kadang tidak mudah difahami orang diluar istilah-
istilah tersebut muncul karena beberapa sebab, antara lain;dikatakan oleh
sisufi dalam keadaan sedang ektase (tidak sadar diri karena konsentrasinya
terlalu kuat) atau dalam istilah mereka sedang “fana” atau sedang “jadzab”.
Ucapan- ucapan tersebut juga disebut “Syathohat” sedangkan pokok ajaranya
terdapat bebrapa pokok diantaranya: At-Taubah, Az-Zuhud, Al-Wara’, At-Tawadlu,
Al-Muroqobah, Az-Ziker, Al-Istiqomah.
Dalam memahami ajaran-ajaran tasawuf hendaknya memahami terlebih
dahulu dasar-dasar dari tasawuf itu sendiri dikarnakan ajaran tasawuf ini tidak
semua orang dapat memahami dan mendalami semaunya tetapi membutuhkan seorang
yang benar-benar faham dan mengerti dari ilmu tasawuf itu sendiri.
Hasan, M. Tholhah. 2003. Ahlussunah Wal Jamaah. Jakarta : Lantabora
press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar