• ASWAJA (BEBERAPA ISTILAH DAN POKOK AJARAN)

     


                     


                         

                                                                          

    BAB I
    PENDAHULUAN

     

     

    A.    Latar Belakang

     

    Dikalangan orang sufi ternyata terdapat beberapa istilah yang spesifik (yang khusus) berlaku diantara mereka, yang kadang- kadang tidak mudah difahami orang diluar istilah- istilah tersebut muncul karena beberapa sebab, antara lain;

    Pertama dikatakan oleh sisufi dalam keadaan sedang ektase (tidak sadar diri karena konsentrasinya terlalu kuat) atau dalam istilah mereka sedang “fana” atau sedang “jadzab”. Kedua istilah tersebut digunakan untuk mengungkapkan maksud atau pengalaman- pengalaman rohaniyah mereka yang sulit diungkapkan dengan kalimat- kalimat lain yang umum, seperti kata “mukasyafah” (keterbukaan batas antara tuhan dan hambanya, sehingga dengan ketajaman rohaninya dia dapat melihat atau mendengar alam “malakut” yang diluar kekuatan jangkaun pandangan inderawi)

    Ketiga istilah- istilah itu sengaja digunakan untuk merahasiakan sebagian ajaranya agar tidak dijadikan pembicaraan orang lain, yang belum siap atau belum memenuhi syarat- syarat untuk membicarakanya, seperti kata-kata “Ad-dzauq wa as-syarb”, yang dimasud ad-dzauq dilingkungan mereka adalah merasakan atau menikmati lezatnya keinntiman rohani dengan tuhan setelah lama berusaha memperolehnya melalui mujahaddah (kerja keras). Dan karena kkenikmatan yang dirasakan begitu kuat, sehingga diibaratkan seperti seorang yang meneguk minuman yang dapat memabukkan (disebut sebagai as-syarab) dan ia berusaha merasakanya sampai tidak ingat apa-apa lagi dan tidak menyadari apa yang ada disekitarnya. Ada istilah lain yang populer dikalangan sufi yaitu ; “al- muhadlarah, al-mukasyafah, dan almusyahadah”.

    Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang beberapa istilah dan pokok ajaran tashawuf.

     

    B.     Rumusan Masalah

    1.      Apa sajakah istilah dan pokok ajaran tashawuf sunni?

    C.    Tujuan Penulisan

    1.      Untuk mendiskripsikan beberapa istilah dan pokok ajaran tashawuf sunni

     


    BAB II
    PEMBAHASAN

     

    A.    Istilah Tasawuf Sunni

    Dikalangan orang sufi ternyata terdapat beberapa istilah yang spesifik (yang khusus) berlaku diantara mereka, yang kadang- kadang tidak mudah difahami orang diluar istilah- istilah tersebut muncul karena beberapa sebab, antara lain;

    Pertama dikatakan oleh sisufi dalam keadaan sedang ektase (tidak sadar diri karena konsentrasinya terlalu kuat) atau dalam istilah mereka sedang “fana” atau sedang “jadzab”. Ucapan- ucapan tersebut juga disebut “Syathohat”

    Kedua istilah tersebut digunakan untuk mengungkapkan maksud atau pengalaman- pengalaman rohaniyah mereka yang sulit diungkapkan dengan kalimat- kalimat lain yang umum, seperti kata “mukasyafah” (keterbukaan batas antara tuhan dan hambanya, sehingga dengan ketajaman rohaninya dia dapat melihat atau mendengar alam “malakut” yang diluar kekuatan jangkaun pandangan inderawi)

    Ketiga istilah- istilah itu sengaja digunakan untuk merahasiakan sebagian ajaranya agar tidak dijadikan pembicaraan orang lain, yang belum siap atau belum memenuhi syarat- syarat untuk membicarakanya, seperti kata-kata “Ad-dzauq wa as-syarb”, yang dimasud ad-dzauq dilingkungan mereka adalah merasakan atau menikmati lezatnya keinntiman rohani dengan tuhan setelah lama berusaha memperolehnya melalui mujahaddah (kerja keras). Dan karena kkenikmatan yang dirasakan begitu kuat, sehingga diibaratkan seperti seorang yang meneguk minuman yang dapat memabukkan (disebut sebagai as-syarab) dan ia berusaha merasakanya sampai tidak ingat apa-apa lagi dan tidak menyadari apa yang ada disekitarnya.

    Ada istilah lain yang populer dikalangan sufi yaitu ; “al- muhadlarah, al-mukasyafah, dan almusyahadah”. Al- muhadlarah adalah konsentrasi hati yang terfokus (terpusat) pada tuhan, dengan kesadaran bahwa tuhan selalu memperhatikan dan mengawasinya, secara lahir maupun batin, dari gerakan ragawi sampai bisikan hati. Pada tahap ini seorang sufi terikat dengan aturan-aturan buku ayat-ayat tuhan. Imam Al-juaidi menegasakan bahwa al- muhadlarah, serorang terikat dengan ayat-ayatnya, artinya peran syariah akan menonjol. Sedangkan dalam tahap mukasyafah ditegaskan oleh imam  Al-junaidi bahwa ia (sufi) mendapat kebebasan melihat sifat- sifatnya dengan penuh. Dan dalam tahap al-musyahadah, si  sufi akan bertemu dzat tuhan dengan kejernihan dan ketajaman batinya, setelah terbuka tirai batas yang menghalanginya.

    Dalam al-muhadlarah, seorang sufi dibimbing akalnya dan dalam al-mukasyafah ia didekatkan (kepada allah) oleh ilmunya, sedangkan dalam al-musyahadah, ia mengalami ketiadaan diri dari kema’rifahanya. Para tokoh sufi ia menggambarkan suasana mukasyafah dan musyahadah sebagaimana yang dialami seorang yang sedang berjalan dimalam yang sangat gelap, kemudian terjadi pijar- pijar cahaya kilat, maka apabila kilat-kilat itu terus menerus memancarkan cahayanya, malampun akan terang seperti siang, demikian halnya yang dialami oleh hati manusia yang memperoleh pijar cahaya ilahi dalam kegelapan rohaninya.

     

    B.     Pokok Ajaran Tashawuf

    Untuk mencapai tingkat “Ma’rifah” (penyaksian hati yang mendapatkan pencerahan nur illahi sehingga mampu mendekat dan mendapatkan kasyaf / keterbukaan kepada Allah), para sufi berusaha melakukan beberapa tahapan perjalanan rohani (suluk), antara  lain yang dipandang sangat mendasar adalah:

    1.      At- Taubah, Menurut Al- Qusyairi dan juga umumnya para imam- imam sufi, memandang at- taubah, atau dalam bahasa sehari- hari disebut “tobat; sebagai tahap pertama langkah perjalanan, dan peringkat awal dari peringkat- peringkat orang yang sedang mencari kedekatan dengan Tuhan. Menurut Al- Ghazali, untuk memahami masalah at- taubah ini, ada tiga hal yang perlu dipahami :

    a.       Pengertian / al- ‘ilm, yakni mengerti besarnya resiko yang timbul dari perbuatan dosa, yang menjadi penghalang terbukanya hubungan antara manusia dengan Tuhan, dan menjadi hambatan semua akses kejalan kebenaran.

    b.      Suasana batin / al-hal, yakni dengan pengetahuan tersebut akan mendorong timbulnya suasana yang tidak enak yang menggelisahkan hati, dan apabila hal itu disadari karena perbuatan dirinya, maka ia akan menyesalinya.

    c.       Perbuatan / al-fi’l, yakni kemauan untuk mengambil langkah nyata, dalam perbuatan dan perilaku dengan meninggalkan semua perbuatan penyimpangan / pelanggaran yang pernah dilakukan. Imam Al- junaid membagi at-taubah ini dalam tiga makna : pertama, menyesali perbuatanya (al-nadam). Kedua, niat yang sungguh- sungguh tidak mengulangi kesalahan atau kekhilafan (al- ‘azm), dan ketiga, usaha mengembalikan barang- barang yang diambil atau diperoleh dengan tidak benar (as- sa’yu).

    Dikalangan para sufi, at-taubah ini mempunyai tiga peringkat kualitas :

    a.       Tobatnya orang awam, yaitu tobat dari perbuatan maksiat, dengan cara-cara diungkapkan diatas.

    b.      Tobatnya orang yang melakukan tashawuf (as- salik), karena merasa melakukan kelalaian mengingat atau  mengurangi ketaatan kepada Allah, dengan cara melawan selera hawa nafsu dan kebiasaan- kebiasaanya, dan dengan cara itu ia dapat meningkatkan keberdayaan rohaninya untuk melakukan pendekatan kepada Allah secara lebih intens (lebih kuat).

    c.       Tobatnya orang yang sudah mencapai kearifan (al- ‘arif), yang merasa terputus hubungan batinya dengan Allah. Mereka berusaha secepat mungkin untuk dapat kembali berkomunikasi dengan Allah, dan berusaha dengan segala kemampuan rohaninya untuk selalu dalam pengayomannya. Pada peringkat ini, masalahnya bukan masalah dosa atau kelalaian dzikir kepada Allah, tetapi pada keterputusan hatinya oleh selain Allah.

    2.      Az- Zuhd, sifat dan sikap zuhud sudah dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w dan para sahabatnya. Mereka menganggap harta dan kenikmatan duniawi ini bagai suatu yang tidak penting, terlalu kecil jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat, terlalu rendah nilai-nilainya dibanding dengan kekayaan akhirat, allah berfirman dalam surat an- Nisa’ ayat 77 :

    ” kesenangan didunia ini hanya sedikit / sebentar dan akhirat lebih baik untuk orang- orang yang bertakwa”

     


    Meskipun kezuhudan itu selalu ditandai oleh sikap yang tidak tertarik dengan dunia materi dan kenikmatan duniawi, atau lebiih tegas lagi, hati seorang zahid tidak mau dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya harta dan barang- barang duniawi, namun tidak berarti setiap orang yang fakir atau miskin itu zahid, sebab banyak orang yang tidak memiliki harata dan sarana materi, tetapi hatinya sangat ganderung (menginginkan) kepada harta dan kekayaan itu. Dia fakir tetapi tetap tidak zahid. Dan sebaliknya, banyak orang yang memiliki harta kekayaan, memiliki sarana duniawi yang cukup banyak, tetapi hatinya tidak terpengaruh dengan apa yang dimiliki itu, mudah untuk melepaskanya untuk keperluan apa saja yang baik dan manfaat, tanpa keberatan hati, seperti yang dilakukan oleh sahabat- sahabat besar Nabi Muhammad s.a.w, misalnya : Usman bin Affan, Sa’ad bin abi Waqqash, Abdurrahman bin ‘Auf, mereka kaya dalam kepemilikan, tetapi mereka hidup dalam kesederhanaan kemurahan hati, maka layak apabila mereka mendapat jaminan masuk surga oleh Nabi s.a.w. adalah sangat tepat penegasan Ali bin Abi Thalib r.a. waktu ditanya tentang zuhud. Ia menjawab, bahwa zuhud itu terletak diantara dua kalimat dari alqur’an Q.S al-Hadid ayat 23 yang dalam isinya memiliki arti “ supaya kamu jangan merasa sedih terhadap apa yang lepas darimu, dan jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan kepadamu”

     

    Imam junaid mengatakan : zuhud itu sikap yang mengganggap kecil terhadap dunia, dan menghilangkan pengaruhnya dalam hati.

     

    Imam Ahmad bin Hambal mengatakan : zuhud itu dapat dibedakan dalam tiga ukuran : pertama, meninggalkan semua barang yang haram, dan ini merupakan zuhudnya orang awam. Kedua, meninggalkan berlebihan pada barang yang halal, dan itu zuhudnya orang istimewa (al-qowash) dan ketiga, meninggalkan kesibukan apa saja, selain untuk Allah dan ini merupakan zuhudnya orang yang ‘arif.

     

    Imam Sufyan At- Tsuri juga menegaskan : Zuhud di dunia ini adalah membatasi keinginan- keinginanya, bukan dengan makan- makanan yang kasar atau berbusana dengan yang sederhana.

     

    Imam Al Ghazali memberikan penjelasan bahwa zuhud mempunyai tiga tingkatan : pertama, dan paling bawah adalah zuhud terhadap dunia (barang-barang duniawi) dan ia merasakan hal yang begitu berat karena hatinya sebernarnya masih menginginkanya namun dia jiwanya berusaha melawanya. Orang ini disebut sebagi “al- Mutazahhid” (belajar zuhud). Kedua, orang yang siap meninggalkan urusan duniawi secara sukarela, jiwanya merasa ringan berasa ringan dari masalah tersebut, orang ini disebut “az- Zahid”. Ketiga, yang tidak merasa ada keberatan apapun meninggalkan masalah duniawi dengan segala kenikamatan dan kemewahanya, karena memang jiwanya tidak tertarik lagi dan mengganpnya sebagai sesuatu yang tidak berharga. Kenikmatan dan nilai dunia tidak dapat lagi diukur dengan kenikmatan- kenikmatan akhirat.

    3.      Al- Wara’, kata ini asalnya mempunyai arti “menahan diri” atau pengendalian diri. Namun dalam pengertian tashawwuf kata al-wara’ ini mempunyai arti yang panjang. Imam Abu Sufyan Ad- Darani mengatakan bahwa al- Wara’ itu merupakan pendahuluan zuhud, jadi tidak mungkin orang dapat melakukan kezuhudan tanpa memiliki sifat wara’. Ditegaskan, bahwa al- Wara’ itu ada tiga tingkatan : pertama, wara’nya orang awam (wara’ al- awam) yang menahan diri dari melakukan segala hal yang tidak layak dilakukan, meskipun itu bukan maksiat, termasuk menjauhkan diri dari barang yang subhat (yang tidak jelas hukumnya apa halal atau haram). Kedua, wara’nya orang khas (wara’ al-khusus) yakni menjauhkan diri dari segala apa saja yang dapat mengganggu hatinya, ayau mengganggu orang lain. Ketiga, wara’nya orang yang sangat khusus (wara’ khusushi al- khushush), yang menjauhi segala hal selain allah.

     

    Al- Qusyairi membedakan antara wara’ dan zuhud dengan menjelaskan bahwa al-wara’ itu menjauhkan diri dari segala hal yang berbau subhat, sedangkan az- Zuhud adalah meninggalkan atau menjauhi hal- hal yang melebihi kebutuhan pokok.

     

    4.      At- Tawadlu’, berlaku sopan baik terhadap sesama manusia, apalagi terhadap Allah, sebab tawadlu’ merupakan penjabaran dari akhlak luhur (husnna al- Khuluq / makarim al- akhlaq) yang menjadi indikasi (tanda- tanda) kualitas agama seseorang. Maka sifat dan sikap serta perilaku yang dinilai menjadi sumber segala dosa, yakni : kesombongan (al- kibr), keserakahan (al- hirsh), dan kedengkian / irihati (al- hasad) harus jauh-jauh ditinggalkan, sebab hal-hal tersebut oleh Rasulullah s.a.w dinyatakan sebagai induk segala pelanggaran atau sumber segala perbuatan dosa.

    5.      Al- Muraqobah, dalam istilah tashawwuf, pengertian al- muroqobah ini adalah kesadaran yang intens bahwa Allah selalu memantau dan mengawasi segala niat, sikap dan perilaku manusia dalam segala situasi, disemua tempat, dan disetiap waktu. Karena kesadaran tersebut seseorang yang menyadari adanya muroqobah ini selalu mengontrol diri, dan mengendalikan sikap dan perilakunya jangan sampai menyimpang dan melanggar aturan Allah S.W.T.

    6.      Ad- dzikir, banyak sekali ayat- ayat al-qur’an yang memerintahkan berdzikir, seperti pada ayat 125 dalam surat al- Baqarah:

     “Maka ingatlah kamu kepadaku maka niiscaya ingat pula kepadamu”

    Murut Imam Al- Qusyairi, dzikir itu ada dua macam yakni “dzikru al lisan” (dzikir dengan

    lisan), dan dzikru al qalb (dzikir dengan hati). Dzikir dengan lisan untuk mengantar seseorang

    dapat melanggengkan (menetapi) menuju dzikir dengan hati, dan mempengaruhi tingkatan

    hati. Apabila seseorang mampu melakukan sesuatu dengan lisan dan hati seligus maka itu

    merupakan hal yang sempurna dalam menjalankan ketasawuffan.

     

    Diantara keistimewaan berdzikir ini, ialah tidak adanya batasan waktu, setiap saat dan

    kesempatan, orang dianjurkan melakukan dzikir kepada Allah S.W.T baik itu wajib maupun

    sunnah. Dan sembahyang / sholat itu meskipun merupakan yang paling mulia diantara

    berbagai macam ibadah, namun masih ada waktu tertentu yang tidak boleh melakukan

    shalat didalamnya, tetapi sebaiknya dzikir dapat dilakukan setiap waktu dan keadaan.

     

    Dzikru al- khawash, yaitu dzikir dalam hati, dengan membayangkan hakikat dzat yang dicintai (Allah) dalam hatinya dengan penuh konsentrasi. Ini yang disebut sebagai “al-munajah” atau munajat ar-ruh (bisikan hati / jiwa). Dalam situasi ini lisanya berhenti mengucapkan dzikir supaya tidak merusak atau mengganggu konsentrasinya. Dzikru as- sirri, yakni dzikir sepenuh jiwa sehingga hakikat dirinya melebur dab hilang pada yang maha wujud.

     

    7.      Al- Istiqomah, prinsip istiqomah menuntut perpaduan ketat antara menjalankan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan, yang hakikatnya hanya dapat dilakukan secara sempurna oleh para Nabi dan para tokoh Auliya’. Al- Istiqomah ini ada tiga tahap, yakni : pertama Istiqomah al- lisan (istiqomahnya lisan), dengan konsisten mempertahankan kalimah syahadah. Kedua, Istiqomah al- jinan (istiqomahnya hati), dengan membetulkan segala kemampuan untuk kebenaran. Ketiga, Istiqomah al- arkan (istiqomahnya kekuatan ragawi), dengan uapaya keras beribadah.

     

    Syekh Abu ‘Ali Ad- Daqqaq mengatakan, bahwa istiqomah itu dimulai dari “at- taqwim” (mendisiplinkan diri), kemudian “al- iqomah” (meluruskan hati), dan setelah itu baru “al- istiqomah” (mendekatkan hati nurani terus menerus kepada Allah).

     

    Imam As- Syibli mengatakan, bahwa istiqomah itu dapat dibedakan menjadi empat macam : pertama, al- istiqomah fi al- aqwal (istiqomah dalam pembicaraan / omongan) dengan meninggalkan omongan yang mengandung fitnah. Kedua, istiqomah fi al- af’al (istiqomah dalam perbuatan / perilaku) dengan meniadakan perilaku yang termasuk bid’ah. Ketiga, al- istiqomah fi al- a’mal (isriqamah dalam hal ibadah) dengan meniadakan sifat malas dan angin- anginan dalam melakukan amal ibadah. Keempat, al- istiqomah fi al- ahwal (istiqomah dalam  menjaga kondisi batin) dengan meniadakan segala hal yang dapat menghalangi / mengganggu hubungan dengan tuhan.

     

    Nahdlatul Ulama dan warganya  memang sangat perhatian (concern) terhadap tashawuff, baik secara kelembagaan maupun secara pengalaman, hal itu dapat dibuktikan dengan adanya badan otonomi dalam NU yang bernama “Jami’ iyah at- thariqah al- Mu’ tabarah an- Nahdliyah” dengan segala program dan kegiatanya. Juga dalam kehidupan sehari- hari warga ini banyak melakukan tradisi keagamaan yang bernuansa ketashawuffan, seperti : Tahlilan, istighosahan, wirid, tirakatan dan lain- lain. Yang semuanya itu merupakan amalan tashawuf yang dikembangkan pada media akar rumput Nahdlatul Ulama, dan sekalian dijadikan sebagai media komunikasi dan pembinaan ummat secara efektif. Di samping itu rata- rata Ulama Nahdliyin menjadi anggota salah satu thariqat yang diakui kebenaranya (al- mu’tabarah). Paling tidak menekuni amalan- amalan rohani yang berbau tashawuf hanya saja pada tingkat kajian ilmiah tentang kethasawufan ini sangat terbatas sekali, sehingga tashawuf difahami sebatas thariqat dengan segala ajaran praktiknya saja, disamping formalitas- formalitas kelembagaan fenomena lain yang dapat diamati tentang besarnya pengaruh thasawuf ini dalam komunitas Nahdliyin ialah penghormatan yang tinggi disertai loyalitas yang kuat terhadap para kyai, dan orang- orang yang diduga sebagai wali, sampai- sampai kadang melampau batas kewajaran, terutama yang terjadi pada masyarakat awam, yang dapat mengudang orang- orang yang tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan situasi demikian dengan maksud mencari keuntungan pribadi dan penipuan sosial.

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

    BAB III
    PENUTUP

    A.Kesimpulan

    Dikalangan orang sufi terdapat beberapa istilah yang spesifik (yang khusus) berlaku diantara mereka, yang kadang- kadang tidak mudah difahami orang diluar istilah- istilah tersebut muncul karena beberapa sebab, antara lain;dikatakan oleh sisufi dalam keadaan sedang ektase (tidak sadar diri karena konsentrasinya terlalu kuat) atau dalam istilah mereka sedang “fana” atau sedang “jadzab”. Ucapan- ucapan tersebut juga disebut “Syathohat” sedangkan pokok ajaranya terdapat bebrapa pokok diantaranya: At-Taubah, Az-Zuhud, Al-Wara’, At-Tawadlu, Al-Muroqobah, Az-Ziker, Al-Istiqomah.

     

    B.Saran

    Dalam memahami ajaran-ajaran tasawuf hendaknya memahami terlebih dahulu dasar-dasar dari tasawuf itu sendiri dikarnakan ajaran tasawuf ini tidak semua orang dapat memahami dan mendalami semaunya tetapi membutuhkan seorang yang benar-benar faham dan mengerti dari ilmu tasawuf itu sendiri.

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

    Daftar Rujukan

    Hasan, M. Tholhah. 2003. Ahlussunah Wal Jamaah. Jakarta : Lantabora press

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Art Education. Diberdayakan oleh Blogger.

Postingan Populer