SOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
<
PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT PENDEKATAN REDUKSIONAL
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendekatan
Reduksional Pendidikan
Memaknai Pendidikan Apakah hakikat pendidikan itu? Pertanyaan ini
tentu sulit dijawab secara gamblang, sebab jawaban atasnya tergantung pada
definisi tentang "apakah pendidikan" itu. Artinya, interpretasi atas
pendidikan dan pendekatan yang dipakai dalam menginterpretasinya merupakan
kunci untuk menemukan hakikat pendidikan. Usaha untuk memberi jawaban terhadap
pertanyaan tentang “apakah pendidikan" telah memenuhi khazanah ilmu
pengetahuan yang disebut ilmu pendidikan atau paedagogik. Dari bermacam-macam
interpretasi yang muncul, menurut H.A.R Tilaar, dapat dikategorisasikan dalam
dua pendekatan yaitu, pendekatan epistemologis dan pendekatan ontologis
(metafisika). Kedua pendekatan tersebut tentu dapat memberikan jawaban yang
berbeda-beda dan memiliki kebenaran dan kelemahan pada dirinya sendiri juga
(H.A.R. Tilaar, 2000:17).
Pendekatan epistemologis lebih memperkarakan kerangka ilmu
pendidikan sebagai ilmu. Dalam usaha tersebut dikaji mengenai peranan
pendidikan dan kemungkinan-kemungkinan pendidikan. Dari perspektif ini,
pendidikan dipahami sebagai proses yang inheren dalam konsep dimanusiakan
melalui pendidikan.
Sementara itu, pendekatan ontologis (metafisika) menekankan kepada hakikat keberadaan, yakni keberadaan pendidikan itu sendiri. Keberadaan pendidikan tidak terlepas dari keberadaan manusia. Oleh karena itu, hakikat pendidikan adalah berkenaan dengan manusia. Dalam pendekatan ini, keberadaan peserta-didik dan pendidik tidak terlepas dari makna keberadaan manusia itu sendiri. Apakah manusia itu, dan apakah makna keberadaan manusia? Pertanyaan-pertanyaan metafisik tersebut juga merupakan pertanyaan-pertanyaan yang esensial dalam proses pendidikan, Tilaar, menggolongkan hakikat pendidikan ke dalam dua kelompok besar yaitu pendekatan reduksionisme dan pendekatan holistik integratif.
I.
Pendekatan
Reduksionisme
Pendekatan reduksionisme dapat diartikan sebagai
a)
suatu
pendekatan untuk memahami sifat dasar hal-hal kompleks dengan
menyederhanakannya ke dalam interaksi dari bagian-bagiannya, atau membuat suatu
hal menjadi lebih sederhana atau lebih mendasar atau
b)
suatu
posisi [filsafat filosofis] bahwa sistem yang kompleks tak lain hanyalah
penggabungan komponen-komponennya, dan suatu pernyataan tersebut dapat
direduksi menjadi pernyataan dari unsur-unsur perseorangan. Hal ini dapat
dikatakan sebagai objek,fenomena, penjelasan,teori, dan pengertian.
Reduksionisme secara jelas menggambarkan perspektif pasti
dari kausalitas. Dalam
kerangka reduksionis, fenomena dapat dijelaskan sepenuhnya dalam hal hubungan
antara fenomena yang lebih mendasar lainnya, yang disebut [epifenomena].
Seringkali ada implikasi bahwa epifenomena menggunakan perantara tanpa sebab
pada fenomena mendasar yang menjelaskannya, Pendekatan reduksionisme
Teori-teori yang dihasilkan dari pendekatan reduksionisme banyak dipaparkan
dalam ilmu pendidikan. Berbagai pendekatan reduksionisme tersebut antara lain:
1)
pendekatan
pedagogis
Pendekatan ini
menuntut kita untuk berpandangan bahwa manusia adalah makhluk tuhan yang berada
dalam proses perkembangan dan pertumbuhan rohaniah dan jasmaniah yang
memerlukan bimbingan dan pengarahan melalui proses
kependidikan. Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa dan pertumbuhan
jasmani dalam pengertian bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari
pengertian psikologis. Karena pekerjaan mendidik atau mengajar manusia
didasarkan tahap-tahap perkembangan/pertumbuhan psikologis di mana psikologi
telah banyak melakukan studi secara khusus dari aspek-aspek kemampuan belajar
manusia.
Tanpa didasari
dengan pendekatan psikologis, bimbingan, dan pengarahan yang bernilai pedagogis
tidak akan menemukan sasaran yang tepat, yang berakibat pada pencapaian produk
pendidikan yang tidak tepat pula. antara pedagogik dengan psikologi (dalam hal
ini psikologi pendidikan) saling mengembangkan dan memperkokoh dalam proses
pengembangan akademiknya lebih lanjut, juga dalam proses pencapaian tujuan
pembudayaan manusia melalui proses kependidikan.Pendekatan ini melahirkan child
centered education, yaitu bahwa pendidikan berpusat kepada kepentingan anak,
sehingga cenderung melupakan bahwa anak juga anggota masyarakat.
2)
Pendekatan
Filosofis
Secara etimologis,
kata filsafat atau falsafah berasal dari bahasa Yunani, yakni
dari kataphilo yang berarti cinta, suka, dan senang, serta
kata sophia yang berarti pengetahuan dan kebijaksanaan. Dengan
demikian, philosophia berarti cinta, senang, atau suka kepada
pengetahuan, hikmah, dan kebijaksanaan. Selain itu, filsafat dapat pula berarti
mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha
menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia,
Poerwardaminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan
akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala
yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu.
Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan
Sidi Gazalba. Menurutnya, filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik,
radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau
hakikat mengenai segala sesuatu yang ada. Orang yang cinta kepada pengetahuan
atau kebijaksanaan disebut philosophos atau dalam bahasa Arab failosuf
(filosof).
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat diketahui bahwa filsafat
pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu
yang berada di balik obyek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar,
asas, dan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang terdapat di balik
yang bersifat lahiriah.
Kegiatan berfikir untuk menemukan
hakikat itu dilakukan secara mendalam. Louis O. Kattsof mengatakan bahwa
kegiatan kegiatan kefilsafatan ialah merenung. Akan tetapi, merenung
bukanlah melamun, juga bukan berfikir secara kebetulan yang bersifat
untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sistematis dan
universal. Berfikir secara filosofis juga selanjutnya dapat digunakan dalam
memenuhi ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran
agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.
Dengan demikian
dapat difahami bahwa pengertian pendekatan filosofis
adalah upaya pendekatan agama melalui ilmu filsafat. Berfikir
secara filosofis, dapat digunakan dalam memahami ajaran agama agar hikmah,
hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan difahami secara
seksama. Atau dengan kata lain pendekatan Filosofis adalah
melihat suatu permasalahan dari sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk
menjawab dan memecahkan permasalahan itu dengan menggunakan metode analisis.
3)
Pendekatan
Psikologis
Pendekatan Psikologis mempelajari tentang jiwa seseorang melalui
gejala perilaku yang dapat diamati Dalam konteks studi agama, pendekatan
Psikologis diartikan sebagai penerapan metode-metode dan data psikologis ke
dalam studi tentang keyakianan dan pemahaman keagamaan untuk menjelaskan gejala
atau sikap keagamaan seseorang, atau dengan kata lain, pendekatan psikologis
merupakan pendekatan keagamaan dengan menggunakan paradigma dan teori- teori
psikologis dalan memahami agama dan sikap keagamaan seseorang.
Salah satu cara yang dapat diterapkan dalam pendekatan ini adalah
dengan cara mempelajari jiwa seseorang melalui perilaku yang tampak yang
mungkin saja dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Dalam hal ini,
pendekatan psikologis tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama atau
keyakinan yang dianut seseorang melainkan dengan mementingkan bagaimana
keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Pendekatan ini dapat dilakukan ketika berhadapan dengan masalah
sikap dan perilaku yang ditampakkan oleh para pemeluk agama Penerapan
pendekatan ini dalam studi Islam dapat dilihat, misalnya pada pengaruh yang
ditimbulkan oleh ibadah puasa, dan haji terhadap perilaku yang Nampak setelah
ibadah tersebut dilakukan Pendekatan ini nampak bersifat asumtif dan
individualis, sehingga tidak komprehensif, bahkan pendekatan ini hanya
berbicara kelakuan para pemeluk Agama yang belum tentu mencerminkan agama Islam
itu sendiri Pendekatan seperti ini bisa menyebabkan orang yang memandang Islam
malah salah paham, misal jika sebuah masyarakat mayoritas muslim, lalu disana
ada prostitusi dan mungkin yang melakukan kemesuman dan maksiat tersebut bisa
jadi crang Islam nah dengan pendekatan psikologis bisa- bisa dianggap bahwa
ajaran Islam itulah yang membolehkan prostitusi. Disinilah letak kelemahan
pendekatan psikologis. Pendekatan ini melahirkan ilmu
pendidikan yang memandang anak sebagai titik tolak proses pendidikan.
Nilai-nilai anak yang khas, perkembangan etis dan religi anak dianggap suatu
yang harus dihormati dalam pendidikan
4)
Pendekatan
Negativis.
Diambil dari
pendapat filosof Bertrand Russell dalam bukunya yang berjudul Education
and Sosial Order.Pendekatan negativis ini memiliki tiga teori yang
sifatnya negative diantaranya:
a)
Teori
pertama menyatakan tugas pendidikan ialah menjaga pertumbuhan anak.Pandangan
negativis ini melihat bahwa segala sesuatu seakan akan sudah tersedia
dalam diri anak, dan akan tumbuh dengan baik apabila alam pertumbuhannya tidak dipengaruhi oleh halhal
yang bersifat negative ataudapat merusak pertumbuhan tersebut
b)
Teori
kedua, pendekatan ini melihat pendidikan sebagai usaha mengembangkan kepribadian
siswa dengan membudayakan individu. Pada teoriini,untuk mengembangkan
kepribadiannya, seorang anak dijauhkan dari hal negative yang menghalangi dalam
perkembangan kepribadiannya.
c)
Teori
ketiga, proses pendidikan melatih siswa menjadi warga Negara
yang berguna. Dalam pandangan ini juga kurang realistis, karena di dalamkenyataannya,
kehidupan bermasyarakat pasti akan banyak terdapat hal- hal positif
dan negatif.
5)
Pendekatan
sosiologi
Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti
kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini
dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours
De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798-1857). Walaupun
banyak definisi tentang sosiologi namun umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu
pengetahuan tentang masyarakat. Sosiologi mempelajari masyarakat meliputi
gejala-gejala social, struktur sosial, perubahan sosial dan jaringan hubungan
atau interaksi manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Sosiologi memiliki berbagai paradigma untuk mengkaji suatu masalah,
sehingga sosiologi merupakan ilmu sosial yang berparadigma ganda. Adapun
struktur paradigma didalam sosiologi adalah sebagai berikut:
Paradigma sosiologi lahir dari teori-teori sosiolog dari masa
klasik hingga era modern ini. Menurut Thomas khun mengatakan bahwa paradigma
sosiologi berkembang secara revolusi bukan secara kumulatif seperti pendapat
sosiolog sebelumnya. Khun menyekemakan munculnya paradigm sebagai berikut:
Paradigma I→ Normal Science→ Anomalies→ Crisis→ Revolusi→ Paradigma
II
Sehingga paradigm sosiologi dapat berkembang sesuai dengan fakta sosial.
Pradigma ini lah yang akan digunakan sebagai alat untuk mengkaji studi islam, dalam
pengkajian studi islam peneliti bebas memilih paradigma yang ada didalam
sosiologi untuk mengkaji masyarakat islam. George Ritzer mengetengahkan bahwa
paradigma-paradigma dalam sosiologi walaupun hasilnya berbeda namun tidak ada
perselisihan diantara paradigm tersebut selama masih sejalan dengan hukum
ilmiah. Meskipun begitu umumnya paradigma itu memiliki keunggulan pada masing-masing
masalah yang dikajinya.
Dalam sosiologi ada pranata sosial, pranata adalah sistem norma
atau aturan-aturan mengenai aktivitas masyarakat, sementara sosial secara
sederhana adalah masyarakat. Jadi dapat disimpulkan pranata sosial adalah
himpunan kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang dipahami, dihargai, dan ditaati
oleh warga masyarakat dan bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Pelapisan sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
tatanan atau urutan secara bertingkat atau hierarki. Dalam islam sendiri
terdapat pelapisan masyarakat hal itu dapat dipelajari melalui wujud pelapisan
masyarakat Karakteristik pendekatan sosiologis
Dalam displin ilmu sosiologi agama, terdapat berbagai logika teoritis
(pendekatan) yang dikembangkan sebagai perspektif utama sosiologi yang
seringkali digunakan sebagai landasan dalam melihat fenomena keagamaan di
masyarakat. Di antara pendekatan itu yaitu: perspektif fungsionalis,
pertukaran, interaksionisme simbolik, konflik, teori penyadaran dan
ketergantungan. Masing-masing perspektif itu memiliki karakteristik
sendiri-sendiri bahkan bisa jadi penggunaan perspektif yang berbeda dalam
melihat suatu fenomena keagamaan akan menghasilkan suatu hasil yang saling
bertentangan
II.
Pendekatan
Holistik Integratif
Pendekatan-pendekatan reduksionisme melihat proses pendidikan
peserta didik dan keseluruhan termasuk lembaga-lembaga pendidikan, menampilkan
pandangan ontologis maupun metafisis tertentu mengenai hakikat pendidikan.
Teori-teori tersebut satu persatu sifatnya mungkin mendalam secara Vertikal
namun tidak melebar secara horizontal. Peserta didik, anak manusia, tidak hidup
secara terisolasi tetapi dia hidup dan berkembang di dalam suatu masyarakat
tertentu, yang berbudaya, yang mempunyai visi terhadap kehidupan di masa depan,
termasuk kehidupan pasca kehidupan.
Pendekatan reduksionisme terhadap hakikat pendidikan, maka
dirumuskan suatu pengertian operasional mengenai hakikat pendidikan. Hakikat
pendidikan adalah suatu proses menumbuh kembangkan eksistensi peserta didik
yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal,
nasional dan global. Rumusan operasional mengenai hakikat pendidikan tersebut
di atas mempunyai komponen-komponen sebagai berikut :
a)
Pendidikan
merupakan suatu proses berkesinambungan.
Proses berkesinambungan yang terus menerus dalam arti adanya
interaksi dalam lingkungannya. Lingkungan tersebut berupa lingkungan manusia,
lingkungan sosial, lingkungan budayanya dan ekologinya. Proses pendidikan
adalah proses penyelamatan kehidupan sosial dan penyelamatan lingkungan yang
memberikan jaminan hidup yang berkesinambungan. Proses pendidikan yang berkesinambungan
berarti bahwa manusia tidak pernah akan selesai.
b)
Proses
pendidikan berarti menumbuhkembangkan eksistensi manusia
Eksistensi atau keberadaan manusia adalah suatu keberadaan
interaktif. Eksistensi manusia selalu berarti dengan hubungan sesama manusia
baik yang dekat maupun dalam ruang lingkup yang semakin luas dengan sesama
manusia di dalam planet bumi ini. Proses pendidikan bukan hanya mempunyai
dimensi lokal tetapi juga berdimensi nasional dan global.
c)
Eksistensi
manusia yang memasyarakat.
Proses pendidikan adalah proses mewujudkan eksistensi manusia yang
memasyarakat. Jauh Dewey mengatakan bahwa tujuan pendidikan tidak berada di
luar proses pendidikan itu tetapi di dalam pendidikan sendiri karena sekolah
adalah bagian dari masyarakat itu sendiri. Apabila pendidikan di letakkan di
dalam tempatnya yang sebenarnya ialah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan manusia yang pada dasarnya adalah kehidupan bermoral.
d)
Proses
pendidikan dalam masyarakat yang membudaya.
Inti dari kehidupan bermasyarakat adalah nilai-nilai. Nilai-nilai
tersebut perlu dihayati, dilestarikan, dikembangkan dan dilaksanakan oleh
seluruh anggota masyarakatnya. Penghayatan dan pelaksanaan nilai-nilai yang
hidup, keteraturan dan disiplin para anggotanya. Tanpa keteraturan dan disiplin
maka suatu kesatuan hidup akan bubar dengan sendirinya dan berarti pula matinya
suatu kebudayaan.
e)
Proses
bermasyarakat dan membudaya mempunyai dimensi-dimensi waktu dan ruang.
Dengan dimensi waktu, proses tersebut mempunyai aspek-aspek
historisitas, kekinian dan visi masa depan. Aspek historisitas berarti bahwa
suatu masyarakat telah berkembang di dalam proses waktu, yang menyejarah,
berarti bahwa kekuatan-kekuatan historis telah menumpuk dan berasimilasi di
dalam suatu proses kebudayaan. Proses pendidikan adalah proses pembudayaan. Dan
proses pembudayaan adalah proses pendidikan. Menggugurkan pendidikan dari
proses pembudayaan merupakan alienasi dari hakikat manusia dan dengan demikian
alienasi dari proses humanisasi. Alienasi proses pendidikan dari kebudayaan
berarti menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai moral di dalam
kehidupan manusia.
B.
Pendekatan reduksional Masyarakat
1)
Makna
Pendekatan masyarakat
Pendidikan memegang peranan penting dalam membentuk dan menciptakan
masyarakat sesuai dengan yang diharapkan. Dengan adanya pendidikan, apa yang
diciti-citakan masyarakat dapat diwujudkan melalui anak didik sebagai generasi
masa depan. Salah satu peran pendidikan dalam masyarakat adalah dalam fungsi
sosial, yakni sekolah merupakan salah sarana pendidikan yang diharapkan.
Sekolah dalam menanamkan nil;ai-nilai dan totalitas terhadap
tatanan tradisional masyarakat berfungsi sebagai lembaga pelayanan sekolah
untuk melakukan mekanisme kontrol sosial (social control). Dapat diungkapkan
dengan sederhana bahwa kerja sama sekolah, keluarga, dan komunitas masyarakat
dapat mengembangkan iklim dan program-program sekolah, memberikan pelayanan
kepada keluarga/orang tua, meningkatkan keterampilan dan kepemimpinan bagi
orang tua, menghubungkan keluarga dengan yang lainnya disekolah dan di
masyarakat, serta membantu pendidik dalam tugasnya. Sekolah juga mengenal
banyak menggunakan masyarakat sebagai sumber pelajaran memberikan kesempatan
luas dalam mengenal kehidupan masyarakat.
Pendekatan sistemik terhadap pengembangan masyarakat melalui
pendidikan adalah pendekatan di mana masyarakat tradisional
sebagai input dan pendidikan sebagai suatu lembaga pendidikan
masyarakat sebagai pelaksana proses pengembangan masyarkat yang dicita-citakan,
sebagai output yang dikehendaki. Ki. Hajar Dewantoro pernah
mengatakan ada tiga lingkungan pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Sejak awal, dalam Tap MPR No. 1/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) telah mencantumkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab:
orang tua, pemerintah dan masyarakat. Tampak dalam Undang-undang No 2/20019
tentang sistem Pendidikan Nasional, dikatakan pula bahwa bentuk pendidikan juga
dibagi menjadi tiga: pendidikan formal, informal, dan nonformal.
Pendekatan Masyarakat ialah suatu langkah untuk mencapai tujuan
Pendidikan yang telah tercantum dalam Undang-undang No. 2/1999 yang menjelaskan
bahwa salah satu pendidikan yaitu pendidikan formal yang berjalan terdiri dari
empat jenjang: Sekolah Dasar/MI, Sekolah Menengah Pertama/MTs, Sekolah Menengah
Atas/MA dan Perguruan Tinggi/PT. Dari UU No. 2/1999 ini maka menjelaskan bahwa
pendidikan rakyat di Indonesia harus mencapai atau memenuhi kebutuhan
masyarakat yang mumpuni untuk kemajuan Bangsa dan Negara di Indonesia. Dengan
demikian maka akan terciptanya manusia Indonesia yang berilmu pengetahuan,
berteknologi dan beriman-bertaqwa (Iptek-Imtek), proses pendidikan pun harus
berupaya menuju kearah tujuan pembangunan nasional.
2)
Fungsi
Pendekatan Masyarakat
Suatu hal pasti
bahwa melanjutkan fungsi pendidikan di masyarakat sangat krusial dalam menjaga
dan melanjutkan fungsi pendidikan disekolah dan keluarga, di mana satu sama
lain tidak dapat dipisahkan, tetapi integral dalam membentuk suatu sistem
pendidikan yang memberdyakan anak didik dalam pengertian sesungguhnya. Beberapa
pengertian dan pemahaman tentang fungsi pendidikan di msyarakat ialah sebagai
berikut :
a)
Fungsi
Sosialisasi
Di dalam masyarakat praindustri, generasi baru belajar mengikuti
pola perilaku generasi sebelumnya tidak melalui lembaga-lembaga sekolah seperti
sekarang ini. Pada masyarakat praindustri, anak belajar dengan jalan mengikuti
diri dalam aktivitas orang yang lebih dewasa. Anak-anak mengamati apa yang
mereka lakukan, kemudian menirunya dan anak-anak belajar bahsa atau simbol yang
berlaku pada generasi tua, menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang berlaku,
mengikuti pandangannya dan memperoleh keterampilan tertentu yang semuanya
diperoleh lewat budaya masyarakatnya.
b)
Fungsi
Kontrol Sosial
Sekolah dalam menanamkan nilai-nilai dan loyalitas terhadap tatanan
tradisional masyarakat harus berfungsi sebagai lembaga pelayanan sekolah untuk
melakukan mekanisme kontrol sosial. Durkheim menjelaskan bahwa pendidikan moral
dapat dipergunakan untuk menahan atau mengurangisifat-sifat egoisme pada
anak-anak menjadi pribadi yang merupakan bagian masyarakat terintegral di masa
anak harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial, dalam melalui
pendidikan demikian sebagai individu mengadopsi nilai-nilai sosial dan
melakukan interaksi nalai-nilaitersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
Selanjutnya sebagai enggota masyarakat, individu dituntut untuk memberi
dukungan dan berusaha mempertahabkab sosial yang berlaku.
c)
Fungsi
Pelestarian Budaya
Dalam hal ini, dekolah harus menanamkan nilai-nilai yang dapat
menjadikan anak-anak tersebut menjadi generasi yang mencintai daerah, bangsa,
dan tanah air. Untuk memenuhi tuntutan yang harus terlaksana maka perlu disusun
kurikulum yang baku yang berlaku untuk semua daerah dan kurikulum yang di
sesuaikan dengan kondisi dan nilai-nilai daerah tertentu.
Sekolah disamping mempunyai tugas mempersatukan budaya-budaya etnik
yang beraneka ragam juga perlu melestarikan nilai-nilai budaya daerah yang
masih layak di pertahankan. Seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi
pekerti dan suatu upaya mendaya gunakan sumberdayakan sumberdaya lokal bagi
kepentingan sekolah dan sebagainya. Fungsi sekolah berkaitan dengan konservasi
nilai-nilai budaya daerah, setidaknya ada 2 fungsi :
o
Selah
digunakan sebagai salahsatu lembaga masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai
traadisional masyarakat dari suatu masyarakat pada suatu daerah tertentu.
o
Sekolah
mempunyai tugas mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa dengan mempersatukan
nilai-nilai yang beragam demi kepentinghan nasional.
d)
Fungsi
seleksi
Sekolah mendidik agar seseorang dapat menghargai hakat dan martabat
manusia, dengan memerhatikan segala bakat yang dimilikinya demi keberhasilan
salam tugasnya. Fungsi seleksi membutuhkan latihan untuk menyiapkan tenaga
kerja yang cakap dalam bidang keahlian yang ditekuninya. Fungsi latihan untuk
mendapatkan tenaga kerja yang terampil sesuai dengan bidangnya, sedangkan
fungsi pendidikan untuk menyiapkan seorang pribadi yang baik untuk menjadi
seorang pekerja sesuai dengan bidangnya.
Jika kita amati apa yang terjadi dalam masyarakat dalam rangka
menyiapkan tenaga kerja untuk suatu jabatan tertentu, maka di sana setidaknya
terdapat tiga kegiatan, ayitu kegiatan seleksi, latihan untuk suatu jabatan dan
pengembangan tenaga kerja tertentu. Peroses seleksi initerjadi di segala bidang
baik untuk masuk sekolah maupun untuk masuk pada jabatan tertentu. Lembaga yang
sekolah berfungsi untuk latihan dan pengembangan tenaga kerja mempunyai dua
hal, yaitu :
o
Sekolah
digunakan untuk menyiapkan tenaga kerja profesional dalam bidang spesialisasi
tertentu. Untuk memenuhi ini berbagia studi dibuka untuk menyiapkan tenaga ahli
yang terampil dan berkemampuan yang tinggi dalam bidangnya.
o
Sekolah
digunakan untuk memotivasi para pekerja agar memiliki tanggung jawab terhadpa
karier dan pekerjaan yang ditekunya.
e)
Fungsi
Pendidikan dan Perubahan Sosial
Sekolah yang menanamkan sikap, nilai dan pandangan hidup yang
semuanya dapat memberikan kemudahan serta memberikan dorongan bagi terjadinya perubahan
sosila berkesinambungan. Usaha sekolah untuk mengajarkan sistem nilai dan
perspektif ilmiah dan rasional sebgai lawan dan nialai-nilai danpandangan hidup
lama, pasrah dan menyerh pada nasib, ketiadaan menanggung resiko, semua itu
telah diajarkan olah sekolah sejak proses modernisasi dari perubahan sosial
dengan menggunakan cara berfikir ilmiah, cara analisis dan pertimbanganrasional
serta dengan kemampuan evaluasi yang kritis orang akan cenderung berfikir
objektif dan lebih berhasil dalam mengusai alam sekitarnya.
Pendidikan
mempunyai fungsi untuk mengadakan perubahan sosial memiliki beberapa fungsi,
yakni ;
o
Melakukan
reproduksi budaya
o
Difusi
budaya
o
Mengembangkan
analisis kultur terhadap kelembagaan-kelembagaan tradisional
o
Melakukan
perubahan-perubahan atau modifikasi tingkat ekonomi sosial tradisional
o
Melakukan
perubahan yang lebih mendasar terhadap institusi-institusi tradisional yang
telah ketinggalan.
f)
Fungsi
Sekolah dan Masyarakat
Di muka telah dibicarakan tentang adanya tiga bentuk pendidikan, yaitu
pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan nonformal. Pendidikan
formal disebut sekolah, sekolah bukan satu-satunya lembaga yang
menyelenggarakan pendidikan tetapi masih ada lembaga-lembaga lain yang juga
menyelenggarakan pendidikan. Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan mempunyai
dua fungsi yaitu:
o
Sebagai
pertner masyarakat
o
Sebagai
penghasil tenaga kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Idi, Sosiologi
Pendidkan Individu, Masyarakat, dan Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2016) hlm.70
Rohimin dkk. Hakikat Pendidikan.
Makalah Mata Kuliah Pendidikan Nilai, (Jakarta: Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia, 2011). h. 8.
Tilaar, H. A. R., Pendidikan,
Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2002), h. 18 – 32
Ridono Aidad, Harapan dan
Partisipasi masyarakat terhadap peningkatan kualitas pendidikan, Makalah
seminar : School and Base Education, 2000, h. 6 39
MPR RI., GBHN TAP MPR No.
II/MPR/1983, Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1983), h. 90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar